Bom Waktu Demografi Jepang: Bisnis Keluarga Terancam Punah, Utang Pajak Warisan Jadi Pemicu

4 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Ancaman "bom waktu demografi" kini menghantui ribuan perusahaan di Jepang, membuat para investor swasta bergegas mencari solusi.

Krisis ini berakar dari dua masalah besar: generasi penerus yang enggan melanjutkan perusahaan keluarga dan beban pajak warisan yang tinggi, yang makin memperburuk keadaan.

Dikutip dari CNBC, Senin (20/10/2025), tradisi mewariskan kendali perusahaan kepada anggota keluarga, yang dulu dianggap tabu untuk dihentikan, kini menjadi langkah yang wajar dan realistis. Kondisi mendesak di lapangan telah menjadikan penjualan perusahaan sebagai jalan keluar yang rasional bagi banyak pemilik usaha.

Krisis ini secara langsung mendorong lonjakan aktivitas merger dan akuisisi (M&A). Menurut data dari PitchBook, secara year-to-date hingga 20 Oktober 2025, aktivitas transaksi merger dan akuisisi di Jepang telah melonjak lebih dari 30% menjadi USD 29,19 miliar (year-on-year).

Bahkan, Bain & Co mencatat nilai transaksi tahunan pasar saham swasta Jepang mencapai 3 triliun yen ayau kurang lebih USD 20 miliar selama empat tahun berturut-turut.

Sebagian besar arus transaksi ini dipicu oleh banyaknya bisnis keluarga yang memilih bergabung atau menjual usahanya. Para pendiri yang telah menua menghadapi kesulitan mencari penerus, ditambah dengan beban pajak warisan yang tinggi, menurut para pakar industri.

CEO perusahaan investasi Jepang Nippon Sangyo Suishin Kiko, Jun Tsusaka mencontohkan kasus yang sering terjadi: “Mereka berada di usia di mana mereka berkata: ‘Saya sudah bekerja keras. Tapi anak-anak saya tidak mau mengambil alih bisnis saya,’” ujarnya mengutip seorang pria berusia 61 tahun yang memintanya menjual bisnis tersebut.

Pajak Warisan Tertinggi Dunia

Tax Foundation mencatat Jepang memberlakukan pajak warisan tertinggi di dunia, yakni sebesar 55% untuk harta bernilai besar. Tarif pajak yang mencekik ini menjadi beban berat bagi ahli waris, yang wajib melunasinya dalam kurun waktu 10 bulan setelah pewaris meninggal.

Akibatnya, banyak ahli waris perusahaan swasta terpaksa menjual aset agar memperoleh dana tunai. Menjual bisnis kepada investor ekuitas swasta pun menjadi pilihan yang menarik dan mendesak.

Lebih dari 90% usaha kecil dan menengah (UKM) di Jepang merupakan bisnis keluarga, dan kini lebih dari 65% transaksi pembelian perusahaan di negara tersebut terjadi karena masalah suksesi, berdasarkan data dari Neuberger Berman.

Forum Ekonomi Dunia memprediksi bahwa pada tahun 2025, sekitar 1,27 juta atau sepertiga perusahaan di Jepang yang dimiliki oleh pemilik berusia 70 tahun ke atas akan kesulitan mencari penerus.

Kyle Walters, analis ekuitas swasta dari PitchBook, menegaskan bahwa pergantian generasi menjadi faktor utama. “Penurunan jumlah penerus dan populasi Jepang yang semakin menua menjadi faktor penting dalam meningkatkan aktivitas ekuitas swasta di negara tersebut. Banyak pemilik bisnis kini melihat ekuitas swasta sebagai pilihan yang masuk akal karena terbatasnya alternatif lain,” jelasnya.

Pergeseran Budaya: Investor Asing Mulai Diterima

Pergeseran budaya juga terjadi dalam pandangan para CEO. Manoj Purush, mitra korporat di Reed Smith yang ahli M&A, menjelaskan bahwa satu dekade lalu, menjual perusahaan kepada investor asing adalah hal yang tidak terpikirkan.

Namun, pandangan ini perlahan memudar. Awalnya mereka membuka diri untuk menjual kepada investor lokal, dan kini mulai melibatkan investor asing sebagai pilihan.

Pergeseran budaya ini memberikan legitimasi kepada pemain global. Keberhasilan pemulihan oleh raksasa asing seperti KKR, Carlyle, dan Bain meredakan kekhawatiran bahwa ekuitas swasta (Private Equity atau PE) akan menghancurkan perusahaan.

Contohnya, KKR mengakuisisi 80% saham Panasonic pada 2013, mengganti namanya menjadi PHC Holdings, yang kemudian tercatat di bursa pada 2021.

“Mereka telah melihat pihak asing datang, dan itu berhasil,” ujar Purush.

Tren Jual Usaha Akibat "Employment Ice Age"

Ryo Ohira, kepala Neuberger Berman Asia Timur, menambahkan bahwa krisis ini bahkan mendorong sejumlah pendiri muda untuk menjual usahanya. Mereka kesulitan menarik manajemen profesional di tengah krisis tenaga kerja, sebuah tren yang diperparah oleh kesenjangan generasi yang disebut “Employment Ice Age”.

“Era Es Ketenagakerjaan” merujuk pada periode awal 1990-an hingga awal 2000-an, di mana pasar kerja Jepang mengalami penurunan tajam setelah runtuhnya gelembung ekonomi. Ini berdampak pada berkurangnya tenaga profesional berpengalaman di tingkat menengah.

Keterbatasan tenaga ahli inilah yang kini membuat banyak UKM kesulitan mencari penerus maupun manajer eksternal yang kompeten, memperburuk krisis suksesi dan kepemimpinan yang terjadi saat ini.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |