Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (Wamen PKP) Fahri Hamzah, menyoroti masalah data backlog perumahan yang selama ini dianggap belum komprehensif.
Menurutnya, Badan Pusat Statistik (BPS) hanya mencatat backlog perumahan dalam dua kategori, yaitu masyarakat yang tidak memiliki rumah dan masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni.
Namun, dalam kajian lebih lanjut, Kementerian PKP menemukan adanya lapisan backlog ketiga. Kategori ini mencakup keluarga yang hidup di rumah tidak layak, tetapi rumah tersebut juga bukan milik mereka. Kondisi ini membuat beban perumahan semakin kompleks.
"Tapi begitu kami gali lagi ternyata itu ada backlog ketiga, yaitu backlog orang yang pada saat yang sama dia tinggal di rumah yang tidak layak tapi rumah itu pun bukan rumah dia. Dan itu ada 6 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak dan rumah itu bukan punya dia," kata Fahri Hamzah dalam acara Peluncuran Dokumen Kebijakan Perkotaan Nasional 2045, Bappenas RI, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, adanya temuan baru ini, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan integrasi data lintas kementerian dan lembaga. Hal itu untuk memastikan seluruh lapisan backlog dapat teridentifikasi secara tepat.
"Sehingga dengan Inpres DTSEN sebenarnya mengharuskan kita agak detail mencari by name, by address. Orang ini ada dimana tempatnya dan bagaimana statusnya. Nah, sekali lagi ini adalah memerlukan integrasi data diantara semua kementerian dan lembaga yang ada," ujar Fahri Hamzah.
Perlunya Integrasi Data Nasional
Lebih lanjut, menjelaskan, penanganan backlog tidak bisa hanya mengandalkan angka statistik global. Pemerintah perlu menggunakan pendekatan berbasis individu dan keluarga dengan sistem pencatatan “by name, by address.” Dengan begitu, setiap keluarga yang masuk dalam kategori backlog dapat dilacak secara jelas.
Menurut Fahri, perumahan tidak sekadar rumah fisik, tetapi juga berkaitan dengan status kepemilikan dan kelayakan huni. Ia juga mengingatkan, perbedaan definisi rumah dalam berbagai regulasi membuat masalah semakin rumit.
Saat ini, undang-undang baru mengenal rumah susun dan rumah tapak, sementara rumah pesisir atau rumah apung belum memiliki nomenklatur resmi.
"Rumah juga dibagi, rumah di desa, rumah di kota, rumah di pesisir. Dalam undang-undang kita sementara itu nomenklatur rumah itu baru ada rumah susun dan rumah tapak, rumah pesisir belum ada, rumah apung belum ada. Nah ini juga mesti nanti kita sinkronisasi semuanya.
Tantangan Sosial dan Ekonomi
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa backlog perumahan, khususnya backlog kepemilikan, banyak ditemui pada masyarakat yang bekerja di sektor informal. Mereka umumnya tidak memiliki akses ke pembiayaan formal, sehingga sulit membeli rumah sendiri.
"Kalau ini terkait tentang status sektor pekerjaan dari backlog, terutama backlog kepemilikan memang rata-rata hidup di sektor informal," ujarnya.
Hal ini memperbesar jumlah keluarga yang terpaksa tinggal di rumah kontrakan atau menumpang di hunian tidak layak. Kondisi tersebut menciptakan lingkaran masalah sosial, mulai dari kesehatan hingga pendidikan anak. Menurutnya, jika backlog tiga lapisan ini tidak segera ditangani, akan berdampak panjang terhadap kualitas hidup generasi mendatang.