Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menyampaikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih melakukan kajian terkait dugaan ada permainan dan pemalsuan cukai rokok.
Hal ini diungkapkan usai menghadiri rapat kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
"Masih dikaji, masih belum. Masih ada waktu ya," ujar Anggito.
Pernyataan ini sekaligus menegaskan pemerintah belum mengambil sikap final mengenai langkah penindakan atas dugaan penyimpangan di sektor cukai rokok.
Ketika disinggung soal kemungkinan adanya kenaikan cukai rokok dalam waktu dekat, Anggito menegaskan keputusan tersebut belum dibahas lebih jauh.
"Belum, kita kan baru didapatkan angka targetnya ya. Nanti kita lihat evaluasi (APBN) 2025 dan 2026 seperti apa," ujarnya,
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, mengaku masih menghitung berapa pendapatan yang didapat negara apabila berhasil memberantas cukai-cukai palsu. Purbaya menuturkan pihaknya masih melakukan analisis di lapangan sebelum memberantas persoalan cukai rokok.
"Kalau misalnya saya beresin, saya bisa hilangkan cukai-cukai palsu berapa pendapatan saya? Dari situ nanti saya bergerak. Kalau mau diturunkan seperti apa. Tergantung hasil studi dan analisis yang saya dapatkan dari lapangan," jelas Purbaya.
Apa Itu Cukai Rokok?
Cukai rokok merupakan salah satu instrumen fiskal penting di Indonesia yang memiliki peran ganda, yaitu sebagai pengendali konsumsi barang dan sumber penerimaan negara. Pungutan ini dikenakan pada produk tembakau karena sifat konsumsinya yang perlu dikendalikan serta potensi dampak negatifnya terhadap kesehatan masyarakat.
Pemerintah secara konsisten menerapkan kebijakan cukai rokok dengan tujuan utama untuk menjaga kesehatan publik dan mengamankan kas negara. Namun, kebijakan ini juga selalu dihadapkan pada dinamika industri, termasuk isu peredaran rokok ilegal yang merugikan.
Baru-baru ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan komitmennya untuk mendalami dugaan permainan dan pemalsuan cukai rokok. Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menindak pelanggaran dan memastikan optimalisasi penerimaan negara dari sektor cukai.
Tujuan Cukai Rokok
Cukai rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu, termasuk rokok, yang memiliki karakteristik khusus.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, barang kena cukai adalah yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya diawasi, dapat menimbulkan dampak negatif, atau pemakaiannya memerlukan pungutan demi keadilan. Rokok, sebagai bagian dari Hasil Tembakau (HT), termasuk dalam kategori barang kena cukai karena konsumsinya dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan.
Oleh karena itu, penerapan cukai menjadi alat pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Selain pengendalian konsumsi, cukai rokok juga bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.
Dengan menaikkan harga rokok melalui cukai, diharapkan masyarakat, terutama kaum muda dan berpenghasilan rendah, dapat mengurangi atau bahkan berhenti merokok, sehingga berdampak positif pada kesehatan publik.
Moratorium Kenaikan Tarif Cukai
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, menyuarakan dukungan terhadap usulan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) selama tiga tahun. Seruan ini muncul sebagai respons atas kekhawatiran terhadap dampak kebijakan cukai yang dinilai belum berpihak pada keseimbangan industri dan perlindungan tenaga kerja, khususnya di daerah penghasil tembakau.
Bupati Klaten, Hamenang Wajar Ismoyo, menegaskan sektor tembakau merupakan salah satu andalan perekonomian daerah. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) menjadi sumber penerimaan penting bagi Kabupaten Klaten. Namun, tekanan akibat kenaikan tarif cukai dan regulasi yang semakin ketat justru membuat sektor ini terpuruk.
“Di satu sisi aturannya dipersulit, di sisi lain pajaknya dinaikkan luar biasa. Ini kan menyentuh sektor dari hulu ke hilir,” ungkapnya.
Ia menilai tekanan terhadap sektor tembakau akan berdampak langsung terhadap penerimaan daerah dan kelangsungan para petani tembakau. “DBHCHT otomatis terpengaruh. Jadi, ketika (industri tembakau) semakin ditekan, serapan tembakaunya berkurang, produksi tembakau pun jelas jadi berkurang,” katanya.