Ada 140 Proses, Perizinan Kegiatan Usaha Hulu Migas Perlu Lebih Sederhana

18 hours ago 9

Liputan6.com, Jakarta Indonesia masih dihadapkan pada kompleksitas perizinan sektor minyak dan gas (migas) meski sudah dilakukan penyederhanaan. Bahkan, jumlah kelembagaan investasi hulu migas Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan negara lain seperti Malaysia dan Brazil.

Tercatat, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) masih harus melalui sekitar 140 proses perizinan yang melibatkan 17 kementerian/lembaga, dengan waktu penyelesaian setiap perizinan berkisar antara 3 hingga 24 bulan.

Sementara data jumlah kelembagaan investasi hulu migas, Indonesia Indonesia membutuhkan izin dari 17 Kementerian/Lembaga untuk investasi hulu migas, sedangkan Brazil hanya 2 lembaga, Norwegia 4, Malaysia 1, Amerika Serikat 3 dan Nigeria 3 lembaga.

Panjangnya perizinan masih terjadi meski pemerintah melalui SKK Migas telah berupaya untuk melakukan penyederhanaan perizinan kegiatan hulu migas, namun hal tersebut belum berdampak pada pengurangan jumlah kelembagaan yang terlibat.

Hasil kajian IPA dan Wood Mackenzie (2023) juga menyebutkan bahwa kompleksitas dan sifat birokrasi dari proses perizinan, pengawasan administratif yang ketat, ketidakselarasan regulasi serta ketidakstabilan kebijakan akibat visi jangka pendek yang dibentuk oleh siklus politik lima tahun Indonesia yang tidak stabil masih menjadi tantangan dalam menjalankan kegiatan usaha hulu migas di Indonesia.

Dalam hal iklim investasi hulu migas, selama lima tahun terakhir, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan pihaknya mencatat pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang positif, diantaranya penerapan fleksibilitas sistem kontrak bagi KKKS (PSC Cost Recovery, PSC Gross Split, dan New Simplified Gross Split).

Kemudian pemberian ruang perubahan skema kontrak dari Gross Split ke Cost Recovery, serta mekanisme negosiasi signature bonus yang disesuaikan dengan keekonomian proyek migas.

Merujuk laporan IHS Markit S&P Global (Juni 2025), Indonesia mencatat peningkatan signifikan pada overall attractiveness rating hulu migas, dari di bawah 4,75 pada 2021 menjadi 5,35 pada 2025.

Sejalan dengan itu, investasi hulu migas terus tumbuh dari USD 10,5 miliar pada 2020 menjadi USD 14,4 miliar pada 2024, dan diproyeksikan akan mencapai USD 16,5 miliar pada 2025.

Upaya Pemerintah

Upaya meningkatkan kemudahan berusaha dan efisiensi proses bisnis, khususnya di dalam aspek perizinan dan birokrasi di hulu migas, pemerintah tercatat juga telah mengambil sejumlah langkah, diantaranya:

Deregulasi dan penyederhanaan perizinan di lingkup Kementerian ESDM untuk tahapan pra-eksplorasi melalui penerbitan Permen ESDM 23/2015, Permen ESDM 15/2016 dan Permen ESDM 29/2017 jo Permen ESDM 52/2018.

Lalu penerapan One Door Service Policy (ODSP) untuk pengurusan perizinan teknis di lingkup SKK Migas, kemudian pengembangan sistem perizinan terpadu Online Single Submission (OSS) di bawah koordinasi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM yang diintegrasikan dengan Kementerian Teknis/Lembaga terkait.

Terakhir penerbitan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta perubahannya menjadi UU No. 2 Tahun 2023, serta (5) penerbitan PP No. 5 Tahun 2021 dan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko.Berbagai upaya yang dilakukan tersebut positif, namun demikian, tampaknya belum sepenuhnya menyentuh akar masalah dan dapat menyelesaikan permasalahan kompleksitas birokrasi-perizinan khususnya terkait izin operasional - post PSC signing - untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.

“Sejauh ini upaya penyederhanaan perizinan yang dilakukan khususnya melalui UU Cipta Kerja maupun deregulasi di tingkat Kementerian ESDM, lebih mengarah pada penyederhanaan persyaratan dan prosedur terkait perizinan yang lebih mengarah pada aspek legalitas usaha,” ungkap dia, Jumat (21/11).

Menurutnya, penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) dalam kerangka OSS berfokus hanya pada aspek perizinan dasar dan persyaratan administratif untuk pendirian usaha. Sementara persoalan utama pada aspek perizinan dan birokrasi untuk pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas lebih berada pada tahap operasionalnya.

Sementara itu, kebijakan One Door Service Policy (ODSP) masih terbatas pada izin atau rekomendasi yang berada di lingkungan SKK Migas.

Perlu Perbaikan dan Penyempurnaan

Kata Komaidi, ReforMiner memandang perlu untuk dilakukan perbaikan dan penyempurnaan lebih lanjut agar berbagai upaya penerbitan kebijakan tersebut dapat lebih optimal di dalam mengatasi permasalahan perizinan yang ada. Beberapa opsi di tingkat implementasi yang semestinya dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Pertama, untuk kebijakan ODSP, perlu terus disempurnakan menjadi sistem perizinan terintegrasi (satu pintu) yang tidak hanya terbatas di dalam lingkup SKK Migas, tetapi menjangkau perizinan yang semula memang memerlukan persetujuan lintas kementerian-lembaga.

Dalam hal ini, perlu disederhanakan untuk menjadi satu pintu saja; dapat melalui SKK Migas atau BKPM saja. Hal ini mestinya dapat dipadukan dengan sistem digital terintegrasi (seperti OSS) yang mencakup seluruh perizinan hulu migas, yang implementasinya perlu dipercepat.

Lebih jauh, diperlukan peraturan perundangan (baru) yang lebih kuat untuk memberikan kewenangan yang lebih luas bagi SKK Migas atau BKPM di dalam melakukan pengurusan perizinan operasional di sektor hulu migas.

Dalam hal ini, SKK Migas atau BKPM dapat ditempatkan sebagai pihak yang berhubungan/melakukan kegiatan langsung dengan kementerian-lembaga dan pemerintah daerah di dalam pengurusan perizinan terkait kegiatan operasi hulu migas.

Kedua, terkait tata waktu, perlu adanya payung hukum dan pengaturan yang tegas terkait batasan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah 55/2009 tentang perubahan kedua Peraturan Pemerintah 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.

Menurutnya, dalam konteks ini, perlu didorong adanya semacam penetapan Key Performance Indicator (KPI) bersama antar lembaga-kementerian, agar ada komitmen dan kerja bersama di dalam penyelenggaraan kegiatan investasi hulu migas dalam tata waktu yang ditentukan bersama dan diatur melalui peraturan perundangan tertentu, misalkan melalui UU APBN setiap tahun.

Ketiga, proses penyederhanaan perizinan juga dapat disempurnakan dengan tidak hanya ditujukan untuk mengatur batasan waktu pengurusan, tetapi juga menyederhanakan aspek kewenangan dalam pemberian izin.

Untuk sejumlah izin yang bersifat sangat teknis, kewenangan perizinan semestinya tidak memerlukan persetujuan berlapis sampai ke tingkat Menteri, tetapi dapat disederhanakan berhenti hanya di level birokrasi di bawahnya atau bahkan dilimpahkan kepada SKK Migas.

Dalam hal yang berkaitan dengan perizinan daerah, untuk penyederhaan dan kemudahaan koordinasi, ada baiknya pemerintah menerbitkan pengaturan pelaksana lanjut terhadap ketentuan pasal 14 UU No 23/2014 (UU Pemerintahan Daerah), yang dalam hal ini mengatur bahwa segala bentuk perizinan pada dasarnya dapat dilimpahkan ke tingkat pemerintah pusat.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |