Liputan6.com, Jakarta - Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio secara tegas menolak usulan batas usia pensiun PNS naik hingga 70 tahun. Menurut dia, kebijakan ini tidak rasional dan justru akan menurunkan produktivitas aparatur sipil negara (ASN).
Agus menyatakan, berdasarkan pengalaman pribadinya, usia 60 tahun sudah merupakan batas maksimal usia pensiun yang wajar untuk bekerja secara aktif. Kalaupun seseorang tetap ingin berkontribusi, idealnya hanya dalam peran non-operasional seperti penasihat atau tenaga ahli.
"Kalau pekerjaannya hanya sebagai penasehat, itu oke lah. Di atas itu sudah enggak bisa efektif. Karena lelah," kata Agus kepda Liputan6.com, Sabtu (24/5/2025).
Ia menambahkan, kondisi kesehatan yang menurun seiring usia juga menjadi faktor penting. Tidak semua orang bisa sehat hingga usia 70 tahun, apalagi dalam posisi kerja yang menuntut pemikiran dan tanggung jawab besar. "Itu kalau sehat. Kalau nggak sehat, tambah lagi. Dan itu menghambat majunya anak-anak yang di bawah," kata Agus.
Ancaman Regenerasi dan Lapangan Kerja
Agus juga menyoroti dampak negatif kebijakan ini terhadap regenerasi birokrasi. Ia khawatir posisi-posisi penting dalam pemerintahan akan terus didominasi oleh orang-orang yang seharusnya sudah pensiun, sehingga menutup peluang bagi generasi muda.
"Anak-anak kita nanti nggak dapat posisi. Kalau kita mempertahankan. 70 tahun itu sudah tua, lho,” ujarnya.
Ada 60 Juta Pengangguran
Ia menegaskan, Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara seperti Jepang atau negara-negara Eropa yang memiliki sistem dan struktur ketenagakerjaan yang berbeda.
Di Indonesia, dengan angka pengangguran yang masih tinggi, mempertahankan pegawai tua justru menciptakan kemacetan dalam mobilitas sosial.
"Kita ini negara bukan seperti Eropa. Bukan seperti Jepang. Kita ada 60 juta pengangguran,” kata Agus. Menurutnya, ketika pejabat atau PNS yang seharusnya sudah pensiun tetap dipertahankan, maka proses regenerasi menjadi terhambat. Hal ini juga menimbulkan efek domino terhadap distribusi pekerjaan dan pengembangan kapasitas anak muda.
Ancaman Regenerasi dan Lapangan Kerja
Agus juga menyoroti dampak negatif kebijakan ini terhadap regenerasi birokrasi. Ia khawatir posisi-posisi penting dalam pemerintahan akan terus didominasi oleh orang-orang yang seharusnya sudah pensiun, sehingga menutup peluang bagi generasi muda.
“Anak-anak kita nanti enggak dapat posisi. Kalau kita mempertahankan. 70 tahun itu sudah tua, lho,” ujarnya.
Bukan Seperti Eropa
Ia menegaskan, Indonesia tidak bisa disamakan dengan Jepang atau negara-negara Eropa yang memiliki sistem dan struktur ketenagakerjaan yang berbeda.
Di Indonesia, dengan angka pengangguran yang masih tinggi, mempertahankan pegawai tua justru menciptakan kemacetan dalam mobilitas sosial.
"Kita ini negara bukan seperti Eropa. Bukan seperti Jepang. Kita ada 60 juta pengangguran,” kata Agus.
Menurut dia, ketika pejabat atau PNS yang seharusnya sudah pensiun tetap dipertahankan, maka proses regenerasi menjadi terhambat. Hal ini juga menimbulkan efek domino terhadap distribusi pekerjaan dan pengembangan kapasitas anak muda.
Beban Anggaran dan Kesehatan Jadi Sorotan
Selain produktivitas dan regenerasi, Agus juga menyoroti beban keuangan negara jika kebijakan ini diterapkan. Ia menilai, mempertahankan PNS hingga usia 70 tahun justru akan menambah beban anggaran, terutama dalam hal biaya kesehatan.
“Sekarang ongkos biaya kesehatannya siapa yang nanggung? Negara. Nanti mau 70 tahun, itu penyakitnya sudah ngumpul,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa semakin tua seseorang, risiko kesehatan semakin besar, dan biaya untuk perawatan medis menjadi sangat tinggi. Dalam konteks keuangan negara, hal ini menjadi tidak efisien dan membahayakan alokasi anggaran untuk sektor lain. Agus pun menyindir bahwa ada beberapa pihak yang mendukung usulan ini hanya karena ingin terus dipertahankan dalam sistem.