Tarif Trump Ciptakan Jurang Ekonomi, Si Kaya Makin Tajir dan Si Miskin Tambah Sengsara

3 weeks ago 34

Liputan6.com, Jakarta - Data terbaru menunjukkan belanja konsumen naik 0,6 persen pada periode back-to-school bulan Agustus, atau 0,4 persen setelah disesuaikan dengan inflasi. Angka ini menandakan mesin utama perekonomian AS masih bergerak, meski pasar tenaga kerja mulai melambat dan diliputi ketidakpastian.

Namun, konsumsi masyarakat kini semakin terkonsentrasi pada kebutuhan pokok, seperti kesehatan, sementara pendapatan tidak sejalan dengan kenaikan harga.

Dikutip dari CNN, Senin (29/9/2025), kenaikan harga turut dipicu tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Menurut data Departemen Perdagangan, beberapa harga naik lebih tinggi dari perkiraan dalam beberapa bulan terakhir.

“Tidak semua rumah tangga mampu bertahan menghadapi badai tarif,” tulis Ekonom EY-Parthenon Greg Daco. Ia menilai belanja agregat memang masih kuat, namun mayoritas keluarga tertekan oleh mahalnya harga makanan, furnitur, mobil, hingga jasa.

Indeks Harga Konsumsi Pribadi (Personal Consumption Expenditures/PCE) — acuan inflasi utama Federal Reserve — naik 0,3 persen secara bulanan (lebih tinggi dari Juli yang 0,2 persen). Secara tahunan, inflasi PCE mencapai 2,7 persen, tertinggi dalam enam bulan terakhir.

Harga energi dan bahan bakar melonjak, tetapi kenaikan terbesar berasal dari sektor makanan yang naik 0,5 persen pada Agustus, tertinggi sejak Maret. Dibandingkan tahun lalu, harga makanan sudah lebih mahal 2,2 persen.

Jika komponen makanan dan energi yang fluktuatif dikecualikan, inflasi inti (core PCE) tercatat naik 0,2 persen, sama dengan Juli. Secara tahunan, core PCE tetap di angka 2,9 persen, jauh di atas target The Fed sebesar 2 persen.

“Dinamika inflasi dalam laporan PCE Agustus menunjukkan inflasi jasa tetap kuat, naik dari 3,5 persen ke 3,6 persen. Sementara harga barang pun melesat, termasuk kenaikan 13,9 persen harga daging sapi dan sapi muda, 7 persen biaya utilitas rumah tangga, dan 6,2 persen harga listrik dibanding tahun lalu,” ujar Kepala Ekonom RSM US, Joe Brusuelas.

Kekuatan Belanja Terkonsentrasi di Kelompok Berpenghasilan Tinggi

Kenaikan belanja konsumen Amerika Serikat (AS) pada Agustus sebagian besar ditopang oleh tabungan masyarakat. Tingkat tabungan turun menjadi 4,6 persen dari sebelumnya 4,8 persen pada Juli, karena pengeluaran melampaui pertumbuhan pendapatan.

Data Departemen Perdagangan menunjukkan pendapatan pribadi naik 0,4 persen, namun hanya 0,1 persen setelah disesuaikan dengan inflasi. Secara tahunan, pendapatan pribadi setelah pajak yang disesuaikan inflasi (riil) tumbuh 1,9 persen, sedangkan pengeluaran riil naik 2,7 persen. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi Covid-19, tepatnya September 2019, pendapatan riil yang dapat dibelanjakan tumbuh sekitar 3 persen.

Kekuatan belanja masyarakat kini semakin terkonsentrasi di kelompok berpenghasilan tinggi. Data Moody’s Analytics mencatat 20 persen orang berpendapatan tertinggi menyumbang hampir setengah dari total belanja pada kuartal II tahun ini.

“Meskipun kami terdorong oleh peningkatan pertumbuhan pendapatan sebesar 0,4%, fakta bahwa warga Amerika harus menabung untuk mendukung laju pengeluaran saat ini merupakan pengingat yang kurang baik bahwa laju pengeluaran kemungkinan besar didorong oleh rumah tangga kelas atas, sementara kelompok berpenghasilan rendah tetap tertekan,” tulis Kepala Ekonom RSM US, Joe Brusuelas.

Sementara itu, survei University of Michigan menunjukkan sentimen konsumen masih mendekati titik terendah sepanjang sejarah.

“Terakhir kali rasa pesimis setinggi ini terjadi saat Resesi Besar,” kata Ekonom Senior di NerdWallet, Elizabeth Renter.

Ia menambahkan, “Yang perlu diperhatikan bulan ini, penurunan sentimen dirasakan di seluruh demografi — orang-orang dari sebagian besar latar belakang merasa lebih pesimis terhadap ekonomi saat ini dan masa depan.”

Namun, pengecualian terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki kepemilikan saham besar.“Kekayaan memberi perlindungan dari gejolak ekonomi, dan investor relatif masih baik-baik saja,” jelas Renter.

Kondisi ini menggambarkan fenomena “ekonomi berbentuk K” (K-shaped economy), di mana sebagian kecil masyarakat menikmati keuntungan, sementara mayoritas justru semakin terhimpit.

Pergeseran Pola Belanja Jadi Sinyal Bahaya Ekonomi AS

Tanda bahaya lain dari ekonomi Amerika Serikat (AS) terlihat dari pergeseran pola belanja masyarakat. Data beberapa bulan terakhir serta laporan pendapatan perusahaan menunjukkan warga AS kini semakin banyak mengalokasikan uang untuk kebutuhan pokok, khususnya perawatan kesehatan, perumahan, dan asuransi, sambil mengurangi pengeluaran lain.

“Warga Amerika mengalokasikan semakin banyak dolar mereka ke bidang-bidang penting — khususnya perawatan kesehatan, perumahan, dan asuransi — karena mereka mengurangi pengeluaran lainnya,” kata analis konsumen kawakan Adam Josephson, yang lama memantau tren belanja rumah tangga.

Josephson mencatat, pada Agustus, belanja kesehatan hampir menyentuh 23 persen dari total konsumsi, dengan hampir setengahnya berasal dari Medicare dan Medicaid.“Semakin besar porsi kebutuhan wajib, semakin sedikit ruang untuk belanja lain. Dampaknya, berbagai perusahaan ritel, restoran, hotel, hingga maskapai penerbangan mulai terpukul,” jelasnya.

Jika tren ini berlanjut, perusahaan yang bergantung pada belanja konsumen berpotensi mengambil langkah efisiensi besar-besaran.“Mereka kemungkinan akan berkontraksi, memangkas biaya, yang berarti memberhentikan karyawan, dan menutup fasilitas,” ujar Josephson.

Contoh terbaru datang dari Starbucks, jaringan kopi terbesar di AS. Perusahaan itu mengumumkan penutupan 400 gerai berkinerja buruk di seluruh negeri. Meski hanya sekitar 1 persen dari total toko, keputusan tersebut berdampak langsung pada sekitar 900 karyawan yang kehilangan pekerjaan.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |