Swiftonomics: Taylor Swift Bangun Kekaisaran Ekonomi dari Musik, Film, hingga Hotel

2 weeks ago 25

Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak miliarder dan bintang pop di dunia, tetapi hanya ada satu Taylor Swift. Ia bukan sekadar menjual album – timnya berhasil menciptakan sebuah ekosistem ekonomi raksasa yang mencakup segalanya, mulai dari penjualan kaset hingga tingkat hunian hotel di kota-kota tempatnya tampil.

Swift adalah sosok serba bisa: penyanyi global, produser film, dan kini juga menjadi bagian dari dunia NFL berkat pertunangannya dengan bintang Kansas City Chiefs, Travis Kelce. Sejak 2023, Swift resmi menyandang status miliarder.

Pada Jumat lalu, Swift merilis album studio ke-12 berjudul “The Life of a Showgirl” bersamaan dengan film konser terbarunya. Keduanya diperkirakan akan kembali menambah pundi-pundi kekayaannya hingga jutaan – bahkan miliaran dolar.

Menurut Bloomberg Billionaires Index, kekayaan Swift melonjak hingga menembus USD 2,1 miliar, naik sekitar USD 1 miliar dalam dua tahun terakhir. Kenaikan ini didorong oleh performa pasar, pendapatan masif dari tur Eras Tour dan film konsernya, serta keberhasilannya membeli kembali hak master untuk seluruh album awalnya.

Berbeda dari kebanyakan selebritas, Swift menjadikan strategi bisnis cerdas sebagai bagian dari identitasnya. Ia berada di garda terdepan dalam mengubah sistem industri musik, di mana selama ini eksekutif di balik layar kerap menerima porsi keuntungan terbesar.

"Taylor datang dan berkata, ‘Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Aku akan mengubah industri ini,’” ujar Drew Nobile, profesor musik dari University of Oregon, kepada CNN. “Dari situlah istilah Swiftonomics lahir.”

Film yang Pecahkan Rekor

Film konser sebelumnya, “Taylor Swift: The Eras Tour”, menjadi penyelamat bagi industri bioskop pascapandemi dengan pendapatan global mencapai USD 261,7 juta atau Rp 4,33 triliun (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.550), menurut data IMDb.

Distributor film tersebut, AMC, mengonfirmasi film itu “memecahkan rekor penjualan tiket prapenayangan satu hari,” melampaui rekor yang sebelumnya dipegang oleh “Spider-Man: No Way Home” hanya dalam waktu kurang dari tiga jam.

Swift juga mengambil langkah tidak biasa: bekerja langsung dengan AMC tanpa perantara studio besar, sehingga ia bisa memperoleh bagian keuntungan yang lebih besar.

Kini, Swift kembali bekerja sama dengan AMC untuk film terbarunya “Taylor Swift: The Official Release Party of a Showgirl” — film konser yang dikemas sebagai pesta perilisan album barunya dan akan tayang selama satu akhir pekan. Menurut laporan Deadline, film ini diprediksi meraup USD 30 juta-USD 35 juta atau Rp 496,54 miliar-Rp 579,21 miliar hanya dari penayangan domestik.

"Taylor berhasil mendefinisikan ulang cara penggunaan bioskop – bukan hanya untuk menayangkan film, tetapi juga untuk memperkuat musik, karier, dan citra publiknya,” ujar Kepala Tren Pasar di Comscore Paul Dergarabedian, kepada CNN.

Dampak Terhadap Ekonomi Lokal

Tur Eras Tour yang digelar Swift menjadi salah satu fenomena ekonomi paling luar biasa di dunia hiburan. Dengan tampil di 51 kota, tur ini mencatatkan penjualan tiket senilai USD 2,2 miliar atau Rp 36,41 triliun di Amerika Utara saja, menjadikannya tur dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa.

Menurut riset QuestionPro, para Swifties menghabiskan sekitar USD 5 miliar atau Rp 82,73 triliun selama tur berlangsung di AS, termasuk untuk perjalanan, hotel, makanan, dan merchandise. Sementara itu, US Travel Association mencatat penggemar rata-rata mengeluarkan sekitar USD 1.300 atau Rp 21,51 juta per orang, setara dengan pengeluaran penonton Super Bowl.

Kota-kota yang dikunjungi Swift melaporkan lonjakan aktivitas ekonomi, mulai dari peningkatan lalu lintas pengunjung hingga okupansi hotel yang memecahkan rekor, seperti yang terjadi di Pittsburgh, Pennsylvania.

Meski perilisan album baru kali ini tidak akan berdampak sebesar *Eras Tour* terhadap PDB, Kara Reynolds, profesor ekonomi dari American University, menilai bahwa perilisan album Swift tetap memberikan efek signifikan pada bisnis lokal. “Album Swift biasanya mendorong perputaran uang di tingkat komunitas – dari bar yang menggelar pesta rilis, toko pakaian, hingga bioskop,” ujarnya.

Kuasai Katalog Musik Sendiri

Nilai musik yang dihasilkan Swift sejak 2019 diperkirakan mencapai USD 400 juta, menurut Bloomberg.

Setelah berhasil membeli kembali hak master dari album-album awalnya yang sempat dikuasai oleh firma ekuitas swasta, Swift kini sepenuhnya memiliki seluruh katalog musiknya – termasuk versi rekaman ulang berjudul “Taylor’s Version.”

Kepemilikan ini membuatnya tak hanya memperoleh keuntungan dari karya-karya baru, tetapi juga dari lonjakan streaming lagu-lagu lamanya setiap kali album baru dirilis.

Swift telah menjadi artis global paling banyak diputar di Spotify selama dua tahun berturut-turut, dan albumnya telah meraih sertifikasi platinum lebih dari 100 kali – belum termasuk lagu tunggal dan rilis non-album.

Dengan dominasi era streaming, model bisnis musik pun berubah. Bagi Swift, album bukan lagi sekadar produk, melainkan pintu untuk menciptakan “industri kecil” lain seperti penjualan merchandise, vinyl kolektor, kaset edisi khusus, tur, hingga film konser.

"Sekarang ini bukan hanya soal penjualan album atau tiket," kata Nobile.

"Taylor Swift telah membangun seluruh aparatus ekonomi di sekeliling dirinya.”

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |