Sritex hingga Sanken Dilanda Badai PHK, Ada Apa Sebenarnya?

1 week ago 13

Liputan6.com, Jakarta Tahun 2025 menjadi tahun penuh tantangan bagi sektor manufaktur dan industri di Indonesia. Badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda sejumlah perusahaan di berbagai sektor yang mengalami kebangkrutan.

Salah satu perusahaan yang mengalami kebangkrutan yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Kondisi tersebut membuat raksasa tekstil nasional itu melakukan penutupan operasional salah satu pabriknya per 1 Maret 2025, dan melakukan PHK terhadap ribuan pekerjanya.

Kemudian ada PT Sanken Indonesia yang juga mengumumkan penutupan semua lini produksinya di kawasan industri MM 2100, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sebanyak 400 pekerja diperkirakan akan terdampak keputusan tersebut pada Juni 2025.

Adapun di sektor manufaktur alat musik, PT Yamaha Music Manufacturing Indonesia yang dilanda badai PHK imbas pemberhentian produksi dan merumahkan 2.700 karyawan.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menilai bahwa dinamika ketenagakerjaan saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat mikro atau terkait kondisi internal keuangan perusahaan masing-masing, maupun faktor yang sifatnya makro termasuk kondisi ekonomi global, perubahan tren industri, kenaikan biaya produksi dan kompetisi dengan produk impor, serta kebijakan ketenagakerjaan yang berlaku.

"Dalam menanggapi dinamika ini, perlu dilakukan analisis secara komprehensif dan berbasis data dengan melihatnya secara case by case. Penting untuk memahami apakah dinamika ketenagakerjaan yang terjadi merupakan keputusan bisnis yang bersifat individual atau mencerminkan tantangan industri secara makro," kata Ketua Umum APINDO, Shinta Kamdani di Jakarta, Senin (3/3/2025).

Shinta mengungkapkan, pihaknya mencermati bahwa beberapa sektor industri saat ini menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan, yang berdampak pada keputusan bisnis yang sulit, termasuk pengurangan tenaga kerja.

Industri Padat Karya

Dia mengutip Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025 yang telah dirilis APINDO sebelumnya, bahwa industri padat karya diprediksi masih akan menghadapi berbagai tantangan besar sepanjang tahun ini.

"Salah satu isu fundamental yang harus kita hadapi bersama adalah gejala deindustrialisasi dini, yang ditandai dengan terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB, dari 29% pada tahun 2001 menjadi hanya 19% pada tahun 2024. Tren ini menunjukkan bahwa sektor industri, khususnya padat karya, membutuhkan kebijakan yang lebih mendukung agar tetap mampu bersaing dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," paparnya.

Shinta pun menyoroti sejumlah tantangan yang dihadapi industri padat karya masih berkisar pada struktur biaya operasional yang tinggi.

Tingginya biaya tersebut mencakup logistik, kenaikan biaya produksi, kenaikan UMP yang cukup signifikan, serta tekanan dari kompetitor di negara lain yang memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah, juga pergantian regulasi ketenagakerjaan yang terlalu sering yang menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada minat investasi.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |