Shutdown Pemerintah AS Lumpuhkan Rilis Data Ekonomi, Pakar Peringatkan Risiko Resesi

1 week ago 16

Liputan6.com, Jakarta - Sebagian aktivitas pemerintahan Amerika Serikat (government shutdown) menghentikan rilis sejumlah data ekonomi penting, memutus aliran informasi pada saat sebagian pakar memperingatkan ekonomi AS mungkin sedang menuju resesi, demikian disampaikan beberapa ekonom kepada ABC News.

Salah satu lembaga federal menunda publikasi laporan ketenagakerjaan bulanan pada Jumat, membuat para pengamat kehilangan panduan mengenai perlambatan tajam dalam perekrutan tenaga kerja. Demikian mengutip dari ABC News, Rabu (8/11/2025).

Jika shutdown pemerintah AS berlanjut hingga pekan depan, data terbaru inflasi juga tak akan dipublikasikan, sehingga perkembangan harga di tengah meningkatnya biaya hidup akan tetap tersembunyi. Penutupan

Analis strategi riset di Deutsche Bank, Jim Reid, dalam catatan kepada klien pada Senin mengeluhkan adanya “kekosongan data” (data vacuum).

Laporan Ketenagakerjaan dan Inflasi Tertunda

Ketiadaan data ekonomi dari pemerintah meningkatkan ketidakpastian di masa yang penuh tekanan bagi perekonomian AS. Kondisi ini dapat menghambat langkah konsumen, pelaku bisnis, dan pembuat kebijakan, kata beberapa ekonom kepada ABC News. Dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat shutdown pun bisa tak terdeteksi sepenuhnya, tambah mereka.

“Hal ini menambah risiko dan ketidakpastian pada waktu yang sangat tidak tepat,” ujar analis ekonomi senior di Bankrate, Mark Hamrick, kepada ABC News. “Sekarang kita semua seperti sedang berjalan dalam kabut.”

Memasuki Hari Keenam

Shutdown pemerintah AS telah memasuki hari keenam pada Senin. Senat menolak beberapa proposal pendanaan dari Partai Demokrat dan Republik dalam empat pemungutan suara terpisah, terakhir pada Jumat lalu.

Departemen Tenaga Kerja AS pekan lalu menyatakan sebagian data tidak akan dirilis selama shutdown, termasuk laporan bulanan pekerjaan dan inflasi yang selalu ditunggu publik. Bureau of Economic Analysis dan Census Bureau, dua sumber utama data ekonomi lainnya — juga memastikan akan menghentikan publikasi data selama masa shutdown.

Kehilangan data ekonomi terjadi di saat yang genting. Dalam beberapa bulan terakhir, perekonomian AS mengalami perlambatan tajam di sektor perekrutan tenaga kerja disertai kenaikan inflasi — kondisi yang dikenal para ekonom sebagai stagflasi.

Perhatian Utama Kekhawatiran Potensi Resesi

Penurunan laju perekrutan menjadi perhatian utama, memicu kekhawatiran potensi resesi.

Laporan ketenagakerjaan bulan lalu menunjukkan penurunan signifikan dalam perekrutan pada Agustus, memperpanjang periode melemahnya pasar tenaga kerja. Sementara itu, revisi terhadap data sebelumnya mengungkap bahwa ekonomi AS menambah lapangan kerja jauh lebih sedikit sepanjang 2024 dan awal 2025 dibanding perkiraan awal, memperdalam kekhawatiran.

“Pasar tenaga kerja adalah area utama yang menjadi kekhawatiran bagi ekonomi AS,” kata Hamrick, menambahkan bahwa perlambatan perekrutan mengindikasikan risiko resesi sebesar 40 persen dalam 12 bulan ke depan. “Itu adalah risiko yang cukup tinggi.”

Tanpa data pemerintah yang mutakhir, dunia usaha bisa menjadi ragu untuk mengambil langkah ekspansi besar atau membuka banyak lowongan kerja baru. Di sisi lain, konsumen mungkin menunda pembelian barang-barang besar, kata sejumlah pakar.

“Secara umum, ketiadaan data ekonomi membuat arah ekonomi menjadi lebih tidak pasti karena memaksa investor dan eksekutif bisnis bersikap lebih berhati-hati,” ujar kepala ekonom di EY (Ernst & Young), Gregory Daco, kepada ABC News.

Tantangan the Fed

Federal Reserve dijadwalkan mengumumkan keputusan suku bunga berikutnya pada 29 Oktober, setelah pertemuan anggota FOMC. Jika shutdown masih berlangsung hingga saat itu, para pejabat The Fed bisa kekurangan data penting untuk menentukan kebijakan yang tepat, kata Hamrick.

“Ini adalah masa yang sangat sulit untuk membaca ke mana arah inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ujar profesor ekonomi di Harvard University, Kenneth Rogoff ,kepada ABC News.

Namun, harus diakui, terhentinya publikasi data juga bisa membuat para investor tidak menyadari adanya potensi perbaikan ekonomi. Beberapa ahli mencatat bahwa sumber data dari sektor swasta masih tersedia, meski biasanya dianggap kurang akurat dibanding data resmi pemerintah.

Secara historis, shutdown pemerintah hanya menimbulkan dampak ekonomi yang relatif kecil, terutama karena pegawai negeri yang dirumahkan sementara kehilangan gaji dan menurunkan tingkat konsumsi nasional.

Berpotensi Pangkas PDB

Menurut kepala ekonom di Moody’s Analytics, Mark Zandi, setiap minggu shutdown berpotensi memangkas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil tahunan di kuartal berjalan sekitar 0,1 persen.

Sebagai perbandingan, ekonomi AS tumbuh dengan laju tahunan rata-rata 1,6 persen selama paruh pertama 2025. Artinya, diperlukan beberapa minggu shutdown untuk menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan.

Ketiadaan data ekonomi juga membuat para pengamat kesulitan mengidentifikasi besarnya dampak ekonomi akibat shutdown, kata sejumlah pakar.

“Biasanya, shutdown bukanlah peristiwa besar, tetapi tidak ada yang bisa disebut ‘biasa’ dalam situasi ekonomi saat ini,” pungkas Rogoff.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |