Liputan6.com, Jakarta - Sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap raksasa energi Rusia mengguncang industri minyak China. Kilang minyak milik negara dan swasta menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menjaga pasokan dan menghindari sanksi.
Mengutip Yahoo Finance, Kamis (23/10/2025), sebanyak 20% impor minyak mentah China, sekitar 2 juta barel per hari hingga September 2025 berasal dari Rusia. Hal itu menjadikan Rusia sebagai salah satu sumber minyak utama China untuk diolah menjadi produk-produk antara lain solar, bensin dan plastic.
Rosneft PJSC dan Lukoil PJSC yang masuk dalam daftar hitam pemerintahan Presiden AS Donald Trump menjadi langkah baru dari serangkaian langkah yang diluncurkan oleh AS, Uni Eropa dan Inggris yang menargetkan pembeli minyak mentah Rusia dan kontribusinya terhadap penerimaan negara Rusia.
Pemerintah AS menilai, transaksi yang melibatkan kedua perusahaan tersebut harus dihentikan paling lambat 21 November 2025.
Risiko bagi China dan India, pelanggan terbesar Rusia, terletak pada hubungan dengan entitas yang kena sanksi yang dapat membuat perusahaan terpapar sanksi sekunder yang melumpuhkan. Sanksi ini mencakup pemutusan akses ke dolar AS dari sistem perbankan barat, atau dibekukan oleh produsen, pedagang, pengirim hingga perusahaan asuransi barat yang menjadi tulang punggung pasar komoditas global.
Pelaku pasar menyebutkan, hal yang menjadi perhatian khusus adalah peran perusahaan barat sebagai investor dan operator di wilayah penghasil minyak utama yakni Timur Tengah dan Afrika.
Perusahaan China dan India yang memilih untuk terus bekerja sama dengan perusahaan yang dikenai sanksi berisiko dikesampingkan atau diputus dari sejumlah besar proyek.
Jika mereka memilih untuk mematuhi sanksi, mereka akan kehilangan akses ke pasokan minyak dengan diskon besar yang selama ini membantu menjaga biaya energi tetap rendah bagi industri dan konsumen.
Selain itu, pembeli di luar China dan India sedang bergulat dengan dampaknya terhadap Lukoil yang terlibat dalam proyek Basrah di Irak dan Konsorsoum Pipa Kaspia di Asia Tengah.
Pelaku Pasar Gelisah
Langkah Inggris pekan lalu untuk memasukkan Rosneft dan Lukoil ke dalam daftar hitam, serta Shandong Yulong Petrochemical Co dari China atas impornya dari Rusia telah membuat pelaku pasar gelisah.
Perusahaan-perusahaan Barat sejak itu menjadi waspada dalam memasok kilang milik swasta tersebut. Sanksi AS lainnya baru-baru ini telah menargetkan pelabuhan-pelabuhan utama China, termasuk Rizhao dan Dongjiakou, jalur utama minyak Rusia dan Iran.
Inti dari perdagangan besar-besaran antara Rusia dan China adalah kontrak jangka panjang antara Rosneft dan perusahaan milik negara China National Petroleum Corp., yang melibatkan pembelian minyak mentah ESPO melalui pipa ke kilang-kilang minyak yang terkurung daratan di wilayah Daqing utara. Kilang-kilang di sana sebagian besar bergantung pada bahan baku Rusia, menurut para pedagang, sehingga mereka sangat rentan terhadap gangguan apa pun.
Namun, belum jelas apakah aliran pipa ini, sekitar 800.000 barel per hari, akan terdampak sanksi karena sifat proyek antar-pemerintah. CNPC tidak segera membalas email yang meminta komentar. Panggilan telepon ke perusahaan juga tidak dijawab.
Rosneft dan Lukoil juga termasuk di antara perusahaan yang mengekspor ESPO dari pelabuhan Kozmino di timur Rusia ke kilang-kilang swasta yang tersebar di Provinsi Shandong dan di sepanjang pantai.
Berdasarkan firma analisis data Kpler, bersama-sama, kedua perusahaan tersebut memasok sekitar seperempat ekspor minyak Rusia ke China pada 2024.
Harga Minyak Dunia
Harga minyak dunia terbang pada Rabu malam waktu AS, 22 Oktober 2025 setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjatuhkan sanksi tambahan terhadap dua perusahaan minyak terbesar Rusia, yakni Rosneft dan Lukoil.
Langkah ini diambil karena Washington menilai Moskow tidak menunjukkan komitmen serius untuk mengakhiri konflik bersenjata di Ukraina.
Dikutip dari CNBC, Kamis (23/10/2025), harga minyak mentah Brent, sebagai acuan global, naik USD 3,03 atau 4,94% menjadi USD 64,35 per barel. Sementara harga minyak mentah AS (WTI) menguat USD 1,40 atau 2,39% menjadi USD 59,90 per barel.
Sebelumnya, dalam sesi perdagangan reguler, Brent telah naik 2% ke USD 62,59 per barel, sedangkan WTI menguat 2,2% ke USD 58,50 per barel.
“Sekarang saatnya menghentikan pertumpahan darah dan memulai gencatan senjata segera,” kata Menteri Keuangan AS Scott Bessent saat mengumumkan sanksi tersebut.
Pasar Energi Bergejolak
Scott Bessent menegaskan, Departemen Keuangan AS siap mengambil langkah tambahan jika diperlukan, guna mendukung upaya Presiden Trump mengakhiri perang di Ukraina.
“Kami mendorong para sekutu untuk bergabung dan mematuhi sanksi ini,” ujarnya.
Kementerian Keuangan AS menilai, sanksi tersebut akan menghambat kemampuan pemerintah Rusia dalam mengumpulkan pendapatan dari ekspor minyak, yang selama ini digunakan untuk mendanai operasi militer di Ukraina.
Kebijakan baru itu juga langsung mengguncang pasar energi global. Investor khawatir sanksi terhadap dua perusahaan besar Rusia bisa mengganggu pasokan minyak dunia dan memicu lonjakan harga di pasar internasional.
Beberapa analis prediksi ketegangan geopolitik ini akan terus menekan stabilitas harga komoditas energi selama beberapa pekan ke depan.