Liputan6.com, Jakarta - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dinilai masih sejalan dengan perkembangan mata uang regional.
Demikian disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti dikutip dari Antara, Kamis (24/4/2025).
“Pergerakan rupiah masih sejalan dengan perkembangan mata uang regional lainnya dan berada dalam kisaran yang sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia di dalam menjaga stabilitas perekonomian,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar secara daring, dipantau di Jakarta, Kamis.
Sri Mulyani menuturkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada 27 Maret 2025 tercatat Rp16.560 per dolar AS atau menguat 0,12 persen point-to-point (ptp) dibandingkan dengan level akhir Februari 2025.
Akan tetapi, tekanan kuat terhadap nilai tukar rupiah terjadi di pasar off-shore (Non-Deliverable Forward/NDF) pada saat libur panjang pasar domestik dalam rangka Idul Fitri 1446 H akibat kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS).
Merespons itu, Bank Indonesia (BI) pada 7 April 2025 melakukan intervensi di pasar off-shore NDF secara berkesinambungan di pasar Asia, Eropa, dan New York guna stabilisasi nilai tukar rupiah dari tingginya tekanan global.
Respons kebijakan ini memberikan hasil positif, kata Sri Mulyani. Hal itu tercermin dari perkembangan rupiah yang terkendali dan menguat menjadi Rp16.855 per dolar AS pada 22 April 2025, dibandingkan dengan level Rp16.865 per dolar AS pada hari pertama pembukaan pasar domestik pascalibur pada 8 April 2025.
"Ke depan, nilai tukar rupiah diprakirakan stabil didukung komitmen BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik,” tutur Sri Mulyani.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan Kamis pagi di Jakarta menguat sebesar 6 poin atau 0,04 persen menjadi Rp16.866 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.872 per dolar AS.
Komitmen BI
Bank Indonesia (BI) menyatakan terus memperkuat respons kebijakan stabilisasi, termasuk intervensi terukur di pasar off-shore NDF dan strategi triple intervention pada transaksi spot, DNDF, dan SBN di pasar sekunder.
Seluruh instrumen moneter juga terus dioptimalkan, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam menarik aliran masuk investasi portofolio asing dan mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.
Sri Mulyani Masih Pede Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tembus 5%
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tembus 5 persen pada 2025 ini. Meski proyeksi pertumbuhan ekonomi global sedang dilanda ketidakpastian.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan tetap akan mencapai sekitar 5 persen," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (24/4/2025).
Dia turut menjelaskan sejumlah faktor yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Diantaranya, konsumsi rumah tangga yang didukung oleh belanja pemerintah, terutama dalam bentuk pembayaran tunjangan hari raya (THR).
Kemudian, belanja sosial dan berbagai insentif lain yang diberikan menjelang atau pada bulan pertama hingga bulan ketiga tahun 2025 dan menjelang Idul Fitri 1445 hijriyah.
Selain itu keberlanjutan dari proyek-proyek strategis nasional di berbagai wilayah dan meningkatnya konstruksi properti swasta diperkirakan meningkatkan kinerja investasi. Berikutnya, investasi swasta dipandang masih baik didukung oleh keyakinan produsen yang terlihat pada aktivitas manufaktur Indonesia yang masih pada zona ekspansif.
"Investasi khususnya non-bangunan tetap menopang pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari meningkatnya import barang modal terutama import alat-alat berat," tuturnya.
Selanjutnya, kinerja ekspor diperkirakan juga tetap baik didukung oleh ekspor non-migas yang meningkat pada Maret 2025. Terutama komoditas CPO, besi dan baja serta mesin dan peralatan elektrik.
"Pemerintah juga aktif menjajaki potensi perluasan ekspor produk-produk unggulan di pasar ASEAN plus 3, BRICS dan di Eropa di tengah kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat," terang dia.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tahun ini. Namun, penurunannya tidak lebih besar dibandingkan dengan negara Vietnam, Thailand, hingga Meksiko.
Dia mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dirilis IMF dalam World Economic Outlook (WEO) pada April 2025 ini. Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh memanasnya perang tarif antara Amerika Serikat dan China.
Dia mengungkapkan, ekonomi Indonesia diproyeksi hanya tumbuh 4,7 persen pada 2025 ini. Angka itu lebih rendah 0,4 persen dari prediksi sebelumnya atau sebesar 5,1 persen.
"Indonesia juga mengalami koreksi dari outlook pertumbuhan menurut IMF di tahun 2025 ini menjadi 4,7 persen, artinya (ada) koreksi sebesar 0,4 percentage point," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (24/4/2025).
Dia menuturkan, IMF juga mencatat penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada beberapa negara lain. Diantaranya, Thailand yang terkoreksi 1,2 persen, Filipina 0,6 persen, Vietnam 0,9 persen, dan Meksiko 1,7 persen.
Bendahara Negara itu menyimpulkan kalau penurunan yang dialami Indonesia jauh lebih kecil dari negara-negara tersebut. Mengingat lagi, Thailand, Vietnam, hingga Meksiko punya porsi perdagangan lebih besar terhadap Amerika Serikat.
"Koreksi ini (pertumbuhan ekonomi Indonesia), lebih rendah dibandingkan koreksi terhadap negara-negara yang tadi telah saya sampaikan dimana eksposur dari perdagangan eksternal mereka lebih besar dan dampak atau hubungan dari perekonomian mereka terhadap Amerika Serikat juga lebih besar," tuturnya.
Dipicu Perang Tarif AS-China
Sri Mulyani menjelaskan, IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke angka 2,8 persen di 2025 dan 3 persen pada 2026. Angka itu turun 0,5 persen untuk 2025 dan 0,3 persen untuk 2026 pada proyeksi sebelumnya.
Penyebabnya adalah perang tarif atas kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Kenaikan tarif impor ke AS memicu retaliasi dari negara mitra dagangnya, termasuk China yang melakukan balasan.
"Penurunan (proyeksi pertumbuhan ekonomi) ini dipicu oleh dampak langsung dari eskalasi perang tarif. Jadi kenaikan tarif Amerika Serikat yang menimbulkan retaliasi atau penurunan aktivitas perdagangan antar negara dan itu merupakan dampak langsung," kata dia.
"Namun, kebijakan dari pengenaan tarif oleh Amerika Serikat yang disebut resiprokal juga menimbulkan dampak tidak langsung, yaitu dalam bentuk disrupsi rantai pasok, ketidakpastian di dalam perdagangan dan investasi, dan memburuknya sentimen dari pelaku usaha terhadap prospek ekonomi," Sri Mulyani menambahkan.