Puncak Emisi RI Geser Jadi 2035 Bikin Target Nol Emisi Karbon Sulit Dicapai

2 weeks ago 24

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat adanya pergeseran puncak emisi Indonesia menjadi 2035. Target ini molor 5 tahun sehingga dinilai memperberat upaya nol emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mengatakan, target puncak emisi nasional sebelumnya adalah 2030.

"Nah pada saat kita semua sepakat untuk net zero emission tahun 2060 ini dengan berat hati kami laporkan bahwa peak emission rada bergeser ke 2035," jata Eniya dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2025, di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Mundurnya target emisi puncak RI itu tertuang dalam dokumen terbaru Nationally Determimed Contribution (NDC). Dokumen ini pula yang akan dibawa Indonesia ke ajang COP 30, November 2025 mendatang.

Eniya menjelaskan, mundurnya target ini membuat upaya untuk nol emisi karbon di 2060 menjadi lebih berat. Sehingga membutuhkan bantuan dari internasional.

"Nah ini upaya kita akan sangat banyak effort-nya untuk menurunkan emisi sampai 2060. Nah ini PR besar, tahun lalu saya juga selalu mendiskusikan ini jangan sampai ini bergeser tetapi sekarang laporan bulan depan ini sudah dihitung bahwa waduh ini harus bergeser," tuturnya.

"Nah upaya kita memang harus sangat cepat dan kita harus berkolaborasi dengan international dan saat ini kita mengadopsi kalau kita ingin menurunkan emisi kita mengadopsi berbagai teknologi. Nah berbagai teknologi itu kita put in the charge," sambung Eniya.

Bidik Penggunaan EBT oleh Nelayan

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membidik penggunaan energi dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk nelayan. Ini bisa berupa pendingan cold storage maupun tenaga kapal saat melaut.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi menyampaikan rencana pembangunan PLTS dengan daya sekitar 100 gigawatt (GW). Sejalan dengan itu, diperlukan sektor penyerapnya, salah satunya adalah nelayan.

"Jadi demand creation kita melihatnya misalnya seperti pemakaian fotovoltaik di cold storage. Jadi nelayan-nelayan kita sekarang ingin cold storage karena panennya banyak tetapi ingin dijual ke tempat lain, ini sering terkendala (pengadaannya)," ungkap Eniya dalam Indonesia Energy Transition Dialogue 2025, di Jakarta, Senin (6/10/2025).

Pemanfaatan Lainnya

Selain itu, dia juga melihat pemanfaatan lainnya. Misalnya, penggunaan panel surya di sebuah kapal nelayan untuk melaut. Dia mengisahkan sudah ada nelayan yang menggunakannya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) solar.

"Jadi ternyata pada saat melaut jam 2 pagi itu sudah jalan, jam 2 pagi sudah jalan. Penerangannya itu dia menggunakan baterai dari solar cell yang tersimpan di dalam baterai sehingga tidak boros solar katanya, tidak boros bensin diesel," tutur Eniya.

Menurutnya, pemanfaatan skala kecil ini cukup penting untuk menyerap 100 GW penggunaan EBT. "Jadi itu digunakan untuk penerangan dan ini sangat efektif sekali sehingga program-program kecil seperti ini kita akan address ya di dalam penggunaan 100 gigawatt fotovoltaik," terangnya.

Dipakai Kopdes Merah Putih

Selain nelayan, Eniya juga melirik penggunaan listrik PLTS oleh Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP).

"Ke depan kita ingin banyak menggunakan pemakaian fotovoltaik ini selain di rooftop juga ground mounted di sekitar misalnya koperasi desa ataupun di situ ada public health, puskesmas dan lain sebagainya," ucapnya.

"Dan juga akselerasi dari electric vehicle, jadi salah satu tools untuk kita bisa menghadirkan itu," sambung Eniya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |