Liputan6.com, Jakarta - Pagi itu, Di pelataran Pasar Jombang, Ciputat, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten masih lengang. Beberapa pedagang tampak sibuk merapikan dagangan, sementara sebagian lainnya duduk santai menunggu pembeli. Aroma khas pasar—campuran bawang, rempah, dan daging segar—menyapa siapa saja yang lewat.
Di salah satu sudut, tumpukan jengkol berwarna cokelat gelap memenuhi meja kayu kecil. Meski tampak segar, harganya membuat banyak pembeli urung membeli banyak.
Di balik meja kayu berukuran tak lebih dari dua meter, Pak Wiratmo (52 Tahun), seorang pedagang jengkol asal Boyolali, sedang menata dagangannya. Plastik-plastik bening berisi jengkol siap jual tertata di atas meja, sementara sisanya disimpan di ember besar di bawah lapak.
Sesekali ia meraih timbangan digital di sebelahnya untuk menimbang pesanan pembeli.
“Harga jengkol sekarang di kisaran Rp 50 ribu sampai Rp 65 ribu per kilogram (kg). Bulan lalu sempat Rp 100 ribu sampai Rp 120 ribu,” kata Wiratmo sambil tersenyum.
Tangannya yang keriput tampak luwes memilih jengkol yang ukurannya seragam untuk ditata di bagian depan lapak.
Pasokan Langka
Kenaikan harga bulan lalu, jelasnya, dipicu oleh kelangkaan stok. “Jengkol ini buahnya setahun sekali. Kalau belum musim, barangnya sedikit, ya otomatis harga naik. semisal buahnya banyak, harga juga turun sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki pohon jengkol. Pasokan biasanya datang dari daerah tertentu, sehingga perubahan musim dan cuaca bisa langsung memengaruhi harga.
Meski harga sudah turun dari puncak tertingginya, Wiratmo mengaku tetap membatasi stok.
“Saya ambil paling 5 kg per hari. Kalau enggak habis, besoknya masih bisa dijual. Kalau sudah terlalu lama, biasanya saya rebus kemudian saya makan sendiri,” jelasnya.
Strateginya sederhana: menjaga kualitas dan tetap melayani pembeli yang ingin membeli dalam jumlah kecil.
“Enggak harus sekilo, setengah kilo, seperempat, atau bahkan seribu rupiah juga boleh. Namanya di pasar, kita fleksibel,” ujarnya.