Industri Otomotif Indonesia Hadapi Tekanan, Ancaman PHK Membayangi

9 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mengungkapkan, industri otomotif Indonesia tengah menghadapi tekanan berat akibat menurunnya penjualan dan produksi kendaraan dalam dua tahun terakhir.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), Kukuh Kumara mengatakan penurunan ini tidak hanya berdampak pada performa pasar, tetapi juga mulai mengancam keberlangsungan tenaga kerja di sektor tersebut.

Ia menyampaikan, ekosistem industri otomotif melibatkan sekitar 1,5 juta pekerja di seluruh rantai pasok. Dengan kondisi pasar yang lesu, kekhawatiran terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin nyata.

"bahwa kapasitas kita sekitar 2,2 juta unit produksi mobil roda 4 ke atas 1 tahunnya yang melibatkan seluruh ekosistemnya sekitar 1,5 juta pekerja. Ini yang perlu kita pertahankan dalam kondisi yang sulit ini kita tidak ingin ada terjadi PHK," kata Kukuh dalam Rapat Panja Perlindungan Konsumen dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (10/7/2025).

Sejak pandemi COVID-19, industri otomotif sempat mengalami keterpurukan tajam. Produksi mobil sempat anjlok hingga hanya 500 ribu unit pada puncak krisis. Meski sempat pulih dan kembali ke angka 1 juta unit pada 2022, tren menurun kembali terjadi pada 2023.

Penjualan Turun

GAIKINDO mencatat, sepanjang 2023 penjualan kendaraan roda empat hanya mencapai sekitar 865 ribu unit. Padahal sejak 2013, Indonesia sudah masuk kategori “One Million Club” yakni, negara yang mampu memproduksi dan menjual kendaraan lebih dari 1 juta unit per tahun.

"Namun kondisi ekonomi belakangan ini memang cukup menjadi tantangan tersendiri. Dua tahun belakangan kita terus turun. Jadi tahun lalu tinggal penjualannya 865 ribu, tidak bisa mencapai 1 juta. Ini menjadi kekhawatiran kita tersendiri," ungkap dia.

Ekspor Alami Tren Positif Meski produksi dan penjualan domestik mengalami penurunan, GAIKINDO mencatat tren positif dari sektor ekspor kendaraan bermotor.

Sepanjang 2022, ekspor mobil Indonesia mencapai lebih dari 500 ribu unit. Namun, pada 2023 angkanya sedikit terkoreksi menjadi sekitar 472 ribu unit. Menurut Kukuh Kumara, ekspor menjadi salah satu tumpuan industri di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

"Namun, di sisi lain masih ada hal yang menarik dan menjanjikan yaitu ekspor kita itu terus meningkat. Jadi ekspor di tahun 2022 itu mencapai 505 ribu, memang turun di tahun 2023 menjadi sekitar 472 ribuan," pungkasnya.

Pajak Tinggi Bikin Harga Jual Mobil Baru Meroket, Gaikindo: Saatnya Dievaluasi

Sebelumnya, harga mobil baru di Indonesia dikenakan berbagai pajak dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Tidak hanya itu, saat sudah memiliki kendaraan, pemilik harus dikenakan berbagai pajak yang wajib dibayarkan.

Kukuh Kumara, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memberikan contoh, ketika mobil baru keluar dari pabrik, katakan harganya adalah Rp 100 juta, tetapi jika sudah ditawarkan kepada konsumen, banderolnya melonjak menjadi Rp 150 juta.

"Rp 50 juta itu pajak. Ini mungkin yang menjadi salah satu kendala di kita," ujar Kukuh, di Jakarta.

Lanjut Kukuh, dirinya juga sempat berbicara di forum internasional, dan dikomplain dari Amerika. "Indonesia termasuk salah satu negara di dunia yang pajak mobilnya paling tinggi. Setelah Singapura, saya kaget," tegas Kukuh.

Lebih lanjut Kukuh memberikan gambaran lain, contoh Toyota Avanza di Malaysia, pajak tahunannya tidak sampai Rp 1 juta.

Sedangkan di Indonesia, bisa mencapai Rp 4 juta. Kemudian, di Negeri Jiran juga, tidak ada pajak kendaraan lima tahunan, sedangkan di Indonesia hukumnya wajib atau menjadi sebuah keharusan.

Selain itu, ada juga Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) yang harus dibayar oleh pemilik mobil Avanza di Malaysia hanya Rp500 ribuan, sedangkan pemilik mobil yang sama di Tanah Air wajib mengeluarkan biaya hingga Rp2 juta.

"Kalau itu (pajak) dikurangi, kan lumayan atau dibikin lebih rasional. Kita (Indonesia) perlu punya benchmark. Kita dengan Malaysia yang GDP (Gross Domestic Product) lebih tinggi, pajaknya lebih murah. Jadi perlu dievaluasi, kalau harganya di Rp100 juta masa pantas sih menjadi Rp150 juta, nilai tambah apa yang didapat dari mobil yang ditambahkan pajak tadi,” terang Kukuh.

Mobil Barang Mewah

Sementara itu, Kukuh juga mengatakan, mobil di Indonesia masih tergolong sebagai barang mewah. Padahal, jika untuk kendaraan roda empat dengan harga Rp 300 juta atau di bawah Rp 400 juta itu sudah menjadi bagian dari hidup konsumennya.

"Karena dipakai untuk mencari nafkah (mobil Rp 300 juta hingga di bawah Rp 400 juta). Jadi, saatnya kita mengevaluasi, masih layakkah kita menimpakan pajak, ketambahan nilai barang mewah untuk mobil tertentu, kenapa sepatu tidak dianggap barang mewah," jelasnya.

"Memang sepatu enggak ada yang mewah, tas ada ratusan juta, tapi sekali bayar pajak itu selesai. Kalau mobil tiap tahun bayar pajak terus. Belum lagi kalau yang ada pajak progresif," tukasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |