Hindari 3 Kalimat Ini di Kantor, Bisa Rusak Citra Profesionalmu

3 weeks ago 22

Liputan6.com, Jakarta - Cara seseorang berbicara di kantor ternyata bisa berdampak besar pada citra diri maupun kariernya. Hal ini ditegaskan oleh Kate Mason, PhD, mantan juara debat tingkat dunia yang kini menjadi pakar komunikasi.

Mason, yang saat ini menetap di Sydney, Australia, pernah menghabiskan lebih dari 10 tahun untuk bekerja di bidang komunikasi perusahaan-perusahaan besar seperti Google dan YouTube.

Dikutip dari CNBC, Rabu (1/10/2025), pada 2017, ia memutuskan merintis bisnis sendiri dengan mendirikan Hedgehog + Fox, konsultan manajemen strategis, sekaligus berkarier sebagai mentor bagi para profesional perusahaan.

Dari pengalamannya mendampingi para profesional ini, Mason melihat kecenderungan yang ia sebut sebagai “imposing syndrome”. Menurutnya, banyak pekerja, khususnya perempuan, sering merasa takut dianggap mengganggu atau merepotkan rekan kerja.

Akibatnya, mereka memilih diam dan tak jarang mengecilkan pencapaian yang sudah diraih.

Mason menyampaikan bahwa, kebiasaan ini perlahan akan merugikan posisi mereka di dunia kerja.

“Dampaknya mereka jadi meremehkan kemampuan diri sendiri bahkan meremehkan kualitas dari pekerjaan yang dihasilkan,” jelasnya.

Meski begitu, Mason menekankan tujuannya bukan untuk menghakimi orang lain.

Ia justru ingin membantu para pemimpin, terutama perempuan, agar lebih percaya diri dan mampu mengubah pola komunikasi yang kurang menguntungkan.

“Ini lebih seperti nasihat. Jika kebiasaan itu tidak membantu Anda, mungkin ada baiknya mencoba cara lain,” tutur Mason. 

Pandangan tersebut dirangkum Mason dalam buku perdananya denga judul “Powerfully Likeable: A Woman’s Guide to Effective Communication”, yang baru saja dirilis awal bulan ini.

Di dalamnya, Mason membagikan sejumlah strategi komunikasi, termasuk tiga kalimat yang sebaiknya dihindari para pekerja di kantor, beserta alternatif yang lebih tepat.

1. “Cuma sebentar kok”

Kalimat ini sering diucapkan dengan niat baik, yakni untuk menghargai waktu orang lain. Namun, Mason menilai dampaknya bisa berbeda.

“Ucapan ini membuat lawan bicara berharap pembicaraan akan berlangsung dengan sangat singkat,” katanya. “Padahal, tidak ada hal yang benar-benar selesai hanya dalam satu detik.”

Akibatnya, saat percakapan berjalan lebih lama, orang yang diajak bicara bisa merasa terganggu.

"Beberapa menit berlalu, mereka mulai kesal karena berpikir, ‘Tadi katanya cuma sebentar’,” tambahnya.

Selain itu, frasa ini juga memberi kesan bahwa topik yang dibawa tidak terlalu penting.

Mason menyarankan cara lain yang lebih kuat, misalnya, “Saya akan jadwalkan satu jam di minggu depan untuk kita bicara. Saya ingin membahas A, B, dan C. Tolong kabari kalau waktu itu cocok untuk Anda.”

Mason menilai, dengan cara ini pembicaraan terlihat lebih serius dan layak mendapatkan perhatian.

2. “Nggak apa-apa kalau tidak bisa”

Ungkapan ini kerap digunakan untuk ‘melembutkan’ sebuah permintaan agar terdengar lebih sopan.

Namun, menurut Mason, kalimat tersebut hampir tidak pernah sesuai dengan kenyataan, dikutip dari CNBC. 

“Sering kali justru ada kebutuhan mendesak di balik permintaan itu,” jelasnya. “Sangat jarang seseorang meminta sesuatu tanpa benar-benar berharap untuk segera ditindaklanjuti.”

Kalimat seperti ini justru memberi kesan bahwa permintaan yang diajukan bukan hal yang penting.

“Akibatnya, permintaan itu menjadi kurang diperhatikan,” tambah Mason.

Ia mencontohkan, ketika mendengar ungkapan semacam itu, dirinya secara otomatis akan menempatkan permintaan tersebut di bawah daftar prioritasnya.

Hal ini bisa menimbulkan risiko, terutama saat berhubungan dengan eksekutif atau pimpinan yang memiliki jadwal padat. “Jika sebenarnya ada urgensi, tapi dilabeli seolah tidak penting, situasinya bisa menjadi lebih rumit dari seharusnya,” ujarnya.

Mason menyarankan agar permintaan disampaikan secara tegas dengan tujuan dan tenggat waktu yang jelas. Misalnya, “Akan sangat membantu jika revisi dapat dikirim sore ini, karena draf akhir harus masuk besok.”

Ia juga menyinggung temuan riset psikologi dari era 1970-an. Riset ini menunjukkan bahwa seseorang cenderung memenuhi permintaan ketika diberi alasan yang jelas.

“Dengan memberikan konteks dan alasan, kebanyakan orang akan dengan senang hati membantu,” jelasnya.

3. “Saya belum mahir, tapi…”

Mason menilai, membuka pernyataan dengan kalimat “Saya belum mahir” bisa membuat pekerja terdengar kurang meyakinkan.

“Kalimat ini mengurangi wibawa dan menunjukkan keraguan,” katanya.

Menurut Mason, banyak orang sengaja merendahkan pencapaian ketika merasa canggung. Dilansir dari CNBC, Mason menilai hal ini sering muncul jika mereka merasa berbeda dari lingkungannya.

Misalnya, paling muda di ruangan atau baru masuk perusahaan. “Apapun ketidakseimbangan itu, kita akan sangat menyadarinya,” jelasnya. 

Kesadaran akan posisi dalam hierarki memang wajar. Namun, Mason menekankan agar hal itu tidak menjadi alasan untuk mengecilkan peran diri sendiri.

“Seseorang tidak direkrut karena punya keahlian yang sama dengan seorang wakil presiden atau eksekutif, mereka direkrut karena memiliki keahliannya sendiri,” jelas Mason.

Fokus pada kelebihan diri sendiri bisa memberi dorongan besar. “Begitu menyadari bahwa itulah alasan direkrut dan itulah nilai yang dibawa, rasa cemas soal status akan berkurang,” jelas Mason.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |