Harapan Pedagang Pernak-pernik 17-an di Tengah Pelemahan Omzet

1 month ago 20

Liputan6.com, Jakarta - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia ( HUT RI ) yang tinggal menghitung hari, para pedagang pernak-pernik  kemerdekaan di Pasar Senen , Jakarta Pusat, antusias menjajakan atribut merah putih, mulai dari bendera hingga perlengkapan upacara.

Namun, suasana meriah itu tidak berbanding lurus dengan jumlah pembeli yang datang. 

Kondisi ini dirasakan langsung oleh Siti Kusmayati (48), pemilik Toko Tunas Karya Mandiri di Blok 3 Lantai 1 No. CKS 263–265, dan Sri Yati (40), penjaga Toko Sheraton Advertising di Blok 3 Lantai 1 No. BKS 201–203.

Keduanya mengaku omzet tahun ini turun tajam dibandingkan tahun lalu, meski lorong-lorong pasar tetap dipenuhi warna merah putih. Perputaran uang untuk operasional toko jauh berkurang di tahun ini.

"Turunnya 70 persen. Jauh, jauh banget. Kalau tahun kemarin masih mending ya. Kalau sekarang, mah, jauh, Neng. Umi aja sekarang, tuh, nyetoknya cuman berapa meter, ya. Kurang lebih seribu meter ya. Tapi, masih banyak. Kalau tahun kemarin, tuh, seribu meter, tuh, lebih," kata Siti kepada Liputan6.com dikutip Selasa (12/8/2025).

Sri menambahkan, “(Omzet) tahun ini terjun bebas. Dari 2 tahun terakhir sih, pokoknya kita tuh semenjak Covid aja itu menurun setengahnya, kalau sekarang lebih lagi, lebih turun lagi," kata dia. 

Keduanya mengungkapkan bahwa penurunan omzet tahun ini bukan tanpa sebab. Salah satu faktor yang menyebabkan omzet penjual di Pasar Senen menurun adalah meningkatnya persaingan akibat maraknya penjualan online.

Kehadiran berbagai platform e-commerce membuat konsumen memiliki lebih banyak pilihan, meski tak sedikit yang tetap mengandalkan pembelian langsung di pasar.

Bersaing dengan Live

Baik Siti maupun Sri sebenarnya juga memanfaatkan penjualan online untuk menjangkau pembeli. Namun, meskipun penjualan online menguasai pasar, kontribusinya terhadap omzet tidak terlalu besar.

“Kalau untuk saat ini hampir imbang sih (penjualan online dan offline), karena online juga ya dibilang ramau ada aja. Cuma kalau ramai banget ya nggak terlalu, karena sekarang kan udah banyak yang jualan,” ujar Sri.

Bagi Siti juga penjualan offline tetap lebih banyak karena sebagian pembeli justru memilih membeli secara langsung karena dapat bertemu penjual dan melihat barang secara langsung.

"(Lebih banyak) offline dong. Karena udah biasa offline. Kalau online mah, Umi cuma sedikit doang. Terus Umi tuh orangnya tuh, gaptek gitu loh. Nggak terlalu kayak anak-anak muda gitu kan. Kayaknya kalau di online tuh kita tuh harus live gitu loh. Nah, sementara kan Umi kan orangnya nggak pernah nge-live," tutur Siti menceritakan hambatannya berjualan online.

Meski begitu, ia tak memungkiri bahwa persaingan di era digital kini semakin ketat.

"Kan sekarang saingan banyak. Pertama, sekarang itu online ya, merajai ya. Nah, tapi ada orang tuh yang lebih nyaman tuh tatap muka. Ah, lebih nyaman tuh langsung aja. (Karena) kadang-kadang barang yang dikirim kayak online tuh kadang-kadang enggak sesuai, kan. Harganya datang segini, yang barangnya jelek banget ya. Jadi kan ada duit, ada rupa gitu kan," jelasnya.

Harga Bahan Baku Mahal

Selain persaingan yang semakin ketat, omsetnya juga tergerus akibat naiknya harga bahan baku. Kenaikan harga ini memaksanya menyesuaikan harga jual. Namun sebagian pembeli cenderung tetap menawar tanpa mempertimbangkan biaya produksi yang ikut meningkat.

Siti mengungkapkan bahwa kenaikan harga bahan baku sudah menjadi hal yang rutin ia hadapi setiap tahun.

“Kan itu tuh… setiap tahun tuh pasti ada penaaikan-penaikan bahan ya, termasuk musim-musim pesta gitu. Aduh, bahan mah naik terus,” ujarnya.

Meski begitu, ia mengaku tetap berusaha menerima pesanan, meskipun pembeli kerap menawar dengan harga yang sama seperti sebelumnya.

"Cuman kalau harga, ya kadang-kadang orang nawarnya emang tetep, Neng. Asal masih ada lebihnya aja diterima aja kalau Ummi sih. Ambil aja lah. Kan ini kan perlunya buat gaji anak-anak, buat operasional, buat bayar sewa toko, buat bayar-bayar kayak gitu. Jadi yaudah kadang-kadang diterima aja. Biarin deh tipis-tipis gitu kan. Tapi kita masih dapet lebihnya. Kayak gitu," jelasnya.

Ingin Bisa Bertahan

Kenaikan harga bahan baku juga dirasakan oleh Sri, penjaga toko di kios yang berbeda.

"Dari tahun ke tahun pasti naik. Ya biasanya sih masalah di bahan-bahan ini, ya bahan bakunya sih. Banyaknya tukang itu minta naik harga karena di bahan bakunya mungkin. Naiknya sih tergantung barang. Ada yang naiknya beberapa puluh ribu, ada juga ratusan ribu, tergantung barangnya, tergantung produk. Ada juga beberapa produk yang naiknya tuh bisa Rp100.000-an gitu."

Baik Sri maupun Siti sama-sama berharap usaha mereka kembali seramai dulu, meski kini dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari peraturan pemerintah hingga biaya operasional yang terus berjalan.

Bagi mereka, yang terpenting adalah tetap bisa bertahan dan memastikan para karyawan yang menggantungkan hidup pada usaha ini tetap memenuhi kebutuhannya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |