Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan menuju dunia kerja yang bebas dari bias gender tak bisa dilakukan sendirian. Itulah pesan yang mengemuka dalam Media Talk OCBC yang mempertemukan tiga figur dari latar belakang berbeda: pemimpin perempuan di industri teknologi, aktivis kesetaraan gender, dan penggerak gerakan “laki-laki baru”.
Ketiganya sepakat bahwa perubahan hanya akan terjadi jika perempuan dan laki-laki bergerak bersama. “Kalau kita ingin kesetaraan, harus ada dua tangan yang bertepuk. Tidak bisa perempuan saja yang berjuang,” tegas Koordinator Nasional Aliansi Laki-Laki Baru, Wawan Suwandi, dikutip Rabu (13/8/2025).
Diskusi ini menjadi panggung kolaborasi lintas gender yang memadukan pengalaman menghadapi stigma, strategi menembus batas, dan komitmen menghapus norma patriarki—semua demi membuka jalan menuju peluang yang setara.
Bias gender masih menjadi tantangan besar di Indonesia, terutama di dunia kerja. Data UN Women Indonesia menunjukkan 99,7 persen penduduk Indonesia memiliki bias di setidaknya satu dari empat dimensi: pendidikan, kesehatan, integritas fisik, dan ekonomi.
Dua dimensi yang paling menonjol adalah ekonomi dan politik, di mana pandangan bahwa laki-laki lebih layak memimpin atau memperoleh pekerjaan masih kuat melekat.
Bias ini merugikan kedua pihak. Perempuan sering dibatasi pada posisi pendukung dan jarang diberi akses ke jabatan strategis, sementara laki-laki tertekan oleh ekspektasi untuk selalu menjadi pencari nafkah utama dan tidak menunjukkan kerentanan. “Biasnya masih ada, dan sayangnya masih banyak penduduk yang memegang pandangan tersebut,” ujar Head of Program UN Women Indonesia, Dwi Juliawati.
Situasi ini membuat kolaborasi lintas gender menjadi kunci untuk memutus rantai diskriminasi yang telah mengakar di berbagai sektor.
Peran Perempuan Tangguh
Sosok Betti Alisjahbana menjadi contoh nyata bagaimana perempuan bisa menembus dominasi laki-laki di dunia kerja. Berbekal latar belakang pendidikan arsitektur, ia memilih masuk ke industri teknologi yang saat itu nyaris sepenuhnya dikuasai pria. Tantangannya tidak kecil—Betti mengaku harus bekerja dua kali lebih keras demi membuktikan kemampuan.
“Kalau orang lain belajar dua jam, saya empat jam. Kalau mereka persiapan tiga jam, saya enam jam,” kenangnya. Kebiasaan itu membawanya menjadi President Director IBM Indonesia, bahkan tercatat sebagai perempuan pertama yang memegang posisi tersebut di Asia Pasifik.
Keberhasilan Betti tidak berhenti pada dirinya. Ia membuka jalan bagi perempuan lain untuk memimpin, terbukti setahun kemudian empat perempuan di kawasan yang sama menduduki jabatan country general manager. “Saya merasa punya tanggung jawab moral untuk memastikan saya bukan yang pertama dan terakhir,” tegasnya.
Peran "Laki-Laki Baru"
Di sisi lain, gerakan “laki-laki baru” yang diwakili Wawan Suwandi hadir untuk membongkar norma patriarki yang merugikan semua pihak. Konsep ini menekankan bahwa kesetaraan gender bukan hanya urusan perempuan, tetapi juga tanggung jawab laki-laki.
Wawan menyoroti bagaimana ekspektasi tradisional membebani laki-laki—harus menjadi pencari nafkah utama, tidak boleh menunjukkan emosi, dan selalu berada di posisi dominan. “Berbagi beban domestik mestinya jadi hal biasa. Tapi sering kali, laki-laki yang cuci baju atau mengurus anak justru dicap suami takut istri,” ujarnya.
Menurutnya, redefinisi maskulinitas menjadi lebih positif adalah langkah penting. Laki-laki perlu menjadi sekutu dalam perjuangan kesetaraan, menghormati perempuan, membangun relasi sehat, dan menolak segala bentuk kekerasan. “Kalau kita ingin kesetaraan, harus ada dua tangan yang bertepuk. Tidak bisa perempuan saja yang berjuang,” tegasnya.
Kolaborasi Lintas Gender
Pertemuan antara pemimpin perempuan seperti Betti Alisjahbana dan aktivis “laki-laki baru” seperti Wawan Suwandi menunjukkan bahwa kesetaraan hanya bisa dicapai lewat kerja sama lintas gender. Keduanya memandang perubahan sebagai proses yang harus dimulai dari level individu hingga struktural—dari rumah tangga, lingkungan kerja, hingga kebijakan perusahaan.
Dwi Juliawati dari UN Women menegaskan, bias gender akan sulit dihapus jika hanya mengandalkan satu pihak. Ia mendorong pendekatan terintegrasi yang melibatkan manajemen puncak perusahaan, penyusunan kebijakan ramah keluarga, serta program mentoring yang melibatkan laki-laki dan perempuan. “Kesetaraan bukan hanya tujuan, melainkan fondasi untuk membangun masa depan yang lebih kuat dan berdaya bagi semua,” ujarnya.
Kolaborasi ini membentuk sinergi yang unik: perempuan tangguh memecahkan stigma dari dalam, laki-laki baru membongkar norma patriarki dari luar, dan aktivis kesetaraan menjembatani keduanya dalam satu visi bersama.
Solusi dan Harapan
Membangun dunia kerja yang setara membutuhkan langkah nyata dari semua pihak. Dari sisi perusahaan, kebijakan rekrutmen yang adil, kesempatan promosi setara, cuti ayah yang memadai, fleksibilitas kerja, hingga dukungan kesehatan mental menjadi fondasi penting. Pendekatan ini bukan hanya membuka peluang bagi perempuan, tetapi juga membebaskan laki-laki dari beban peran tradisional yang mengekang.
Betti Alisjahbana percaya bahwa budaya kerja inklusif akan menciptakan organisasi yang lebih kuat. Sementara Wawan Suwandi menegaskan bahwa perubahan sosial hanya akan tercapai bila perempuan dan laki-laki berdiri sejajar dalam perjuangan. “Kalau kita mau maju, harus bergerak bersama,” tutupnya.