Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto resmi meneken Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan penandatanganan ini maka Prabowo resmi membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Selain itu, Prabowo juga telah menunjuk Dewan Pengawas Danantara.
Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, menilai Danantara sebuah lembaga yang diharapkan bisa mengelola investasi negara berpotensi mengalami distorsi ekonomi.
Distorsi ini muncul karena adanya kemungkinan campur tangan politik yang dapat memengaruhi jalannya lembaga ini dan berdampak negatif pada perekonomian nasional secara keseluruhan.
"Dalam hemat saya, danantara akan sangat berpeluang untuk mengalami distorsi ditengah jalan, terutama untuk kepentingan politik dan pemerintahan di arena ekonomi, yang berpotensi mengganggu kesehatan perekonomian nasional secara keseluruhan," kata Ronny kepada Liputan6.com, Senin (24/2/2025).
Reformasi BUMN
Menurutnya, semangat reformasi BUMN yang dilatarbelakangi oleh pemisahan antara negara sebagai regulator, pemilik saham, dan pelaku bisnis, diharapkan dapat menciptakan sistem yang lebih efektif dan terorganisir.
Di banyak negara, seperti Temasek di Singapura, SASAC di China, APE di Perancis, dan Khazanah di Malaysia, lembaga serupa tidak hanya berfungsi sebagai sovereign wealth fund (SWF), tetapi juga sebagai perantara yang memisahkan tiga fungsi utama ini dengan jelas.
Pemisahan ini sangat penting agar negara sebagai regulator tidak tercampur tangan dengan kepentingan bisnis, karena hal tersebut bisa mengaburkan perannya.
Peranan Regulator
Negara harus memegang peranan sebagai regulator yang netral dan tidak berpotensi mengambil keuntungan dari posisinya sebagai pemilik saham BUMN.
"Negara sebagai regulator, tidak bisa bertindak sekaligus sebagai pemilik saham, apalagi sebagai pelaku atau operator, karena akan membuat posisi negara sebagai regulator akan rancu, karena harus mengatur dirinya sendiri," ujarnya.
Oleh karena itu, institusi perantara seperti superholding dibutuhkan untuk mewakili negara dalam kepemilikan saham di BUMN-BUMN, tanpa mengorbankan objektivitas regulator.
"Sehingga negara sebagai regulator harus dinetralisasi dengan institusi perantara bernama superholding dan sejenisnya. Superholding ini menjadi perwakilan negara di dalam kepemilikan saham di BUMN-BUMN," jelasnya.