Dari Pabrik ke Pelipir Kampung, Kisah Mantan Buruh Menjahit Harapan di Tengah Badai PHK

7 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta Setelah lebih dari dua dekade bekerja di industri tekstil, kehidupan seorang pekerja perempuan ini berubah drastis saat pabrik tempatnya bekerja mengalami penutupan. Wati (51), menjadi salah satu dari ribuan korban PHK massal yang tidak mendapatkan pesangon.

Alih-alih menyerah dengan keadaan, Wati memilih untuk bertahan dan bangkit melalui usaha jahit rumahan di kampung asalnya.

"Sampai sekarang saya masih tetap bekerja menjahit. Saya mengerjakan borongan untuk home industri. Saya juga buka jahit sendiri di rumah, bisa jahit seragam, permak, dan daster, dan lainnya," kata Wati kepada Liputan6.com, Jumat (9/5/2025).

Di sisi lain, Wati masih mengharap pesangon turun untuk menambal pengeluaran sehari-hari yang semakin menghimpit usai dirinya tak lagi mendapat gaji bulanan sebagai buruh.

Wati juga pernah terjun langsung dalam demo di Kedutaan Jepang menuntut haknya dari Uniqlo, perusahaan rekanan PT Jaba Garmindo yang saat itu disebut memutus kontrak secara tiba-tiba hingga menyebabkan PHK massal.

"Selama ini saya menunggu tuntutan (dikabulkan) berapa ribu karyawan masih bisa menuntut di (pengadilan) luar negeri," imbuh Wati.

Andalkan Ketrampilan Menjahit

Setelah kembali ke kampung halaman, Wati mulai membangun usaha kecil dengan keterampilan menjahit yang telah ia geluti selama 25 tahun. Di pabrik, ia bekerja di bagian sewing dan knitting sebelum akhirnya diberhentikan akibat tutupnya perusahaan.

Membuka usaha sendiri bukan keputusan yang mudah, apalagi di usia yang tidak lagi muda. Namun, pengalaman panjangnya di bidang menjahit jadi bekal utama.

“Saya sudah umur segini, saya mau cari kerja apa dengan pengalaman yang saya miliki? Pengalaman saya menjahit, saya berusaha di kampung permak baju dan menerima seragam,” tuturnya.

Tantangan Modal dan Perjuangan Mandiri

Berpindah dari status karyawan ke pelaku usaha mandiri membawa tantangan besar, terutama dari sisi finansial. Untuk membuka jasa jahit, Wati setidaknya harus memiliki mesin jahit sendiri.

Sementara pada saat yang sama, Wati dihadapkan dengan keadaan orang tua yang sedang sakit. Dilema antara membeli mesin jahit atau mengupayakan perawatan orang tua, sempat membuat Wati frustasi. Namun pelan-pelan dia mengurai masalahnya saat itu, dan perlahan bisa mengumpulkan tabungan untuk membeli mesin jahit.

“Tantangannya banyak. Dari segi dana, kemungkinan itu nomor satu. Gak punya dana banyak karena gak dapat pesangon dari pabrik itu, PT Jaba Garmindo,” jelasnya.

“Misal untuk permak jeans itu butuh biaya banyak. Untuk membeli mesinnya sekitar Rp 3 jutaan. Kalau lengkap-lengkapnya semua ya sekitar Rp 20 juta itu sudah punya semua, beres," imbuh Wati.

Semua upaya itu dilakukan Wati secara mandiri.Wati sempat bingung saat awal membuka jasa jahit di kampung. Wati memiliki integritas tinggi dalam menjahit lantaran pengalaman di pabrik yang membuatnya terbiasa teliti dengan hasil sebaik mungkin. Namun nilai tersebut tampaknya tak terlalu menjadi pertimbangan konsumen di sekitar rumahnya.

Warga sekitar lebih mempertimbangkan harga yang murah ketimbang hasil jahit yang rapih. Ini sempat membuat Wati bingung mematok harga. Namun perlahan dia mulai menemukan formula untuk berbagai macam konsumennya.

“Jadi dari awal nggak ada dukungan dari manapun. Pemerintah, komunitas atau lain-lain, enggak ada. Cuma saya sendiri, cuma pikiran saya sendiri saja buka usaha ini. Bingung juga karena orang desa sini kan maunya yang murah, tapi saya terbiasa jahit dengan mesin kualitas pabrikan,” jelas Wati.

Memasarkan dari Lingkaran Terdekat

Strategi pemasaran awalnya sederhana, menawarkan jasa dari pintu ke pintu. “Saya pergi ke tempat teman, ke tempat teman lagi menawarkan jahitan saya. Ada permakan apa enggak,” katanya.

Kini, ia menerima berbagai jenis permak dan pesanan seragam. Namun, keterbatasan modal juga membatasi jenis pesanan yang dapat diterima. “Kalau produksi yang lebih tinggi, lebih banyak atau yang kaos, saya belum menerima. Karena nggak punya modal (untuk beli bahan). Tapi kalau dari sana (pemberi kerja) sudah ada bahan, saya tinggal jahit, itu saya terima,” kata wati.

Soal pendapatan, ia mengaku hasilnya tidak tetap. Ditambah, saat ini banyak pengusaha yang juga mengalami kesulitan, termasuk home industri kaos perguruan silat yang sering menggunakan jasanya selama ini. Padahal, pihak tersebut yang selama ini paling besar menopang pemasukan Wati.

“Dibilang cukup, ya cukup. Dibilang kurang, ya kurang. Alhamdulillah disyukuri saja. Alhamdulillah bisa makan itu saja," kata Wati.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |