CEO Jadi Influencer Media Sosial: Strategi Cerdas atau Bumerang Bisnis?

6 hours ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena CEO yang aktif di media sosial kian menguat dalam beberapa tahun terakhir, seiring meningkatnya kebutuhan perusahaan membangun kedekatan dengan publik di era digital. Para pemimpin bisnis tak lagi hanya tampil di balik layar sebagai pengambil keputusan strategis, melainkan juga hadir langsung di lini masa media sosial—berbagi pandangan bisnis, aktivitas pribadi, hingga emosi terdalam mereka.

Namun, alih-alih menuai simpati dan citra positif, tidak sedikit CEO justru menuai kritik tajam, cibiran, bahkan risiko bisnis akibat unggahan yang dinilai tidak pantas atau kurang sensitif.

Dikutip dari CNBC, Selasa (23/12/2025), kasus Braden Wallake, CEO HyperSocial, menjadi contoh nyata bagaimana media sosial bisa berubah menjadi pedang bermata dua. Unggahannya di LinkedIn yang menampilkan swafoto dengan mata berkaca-kaca setelah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) viral dan membuatnya dijuluki “CEO yang Menangis”.

Alih-alih empati, Wallake justru dituding manipulatif dan mementingkan citra pribadi di tengah penderitaan karyawan. Peristiwa ini mencerminkan dilema besar yang kini dihadapi para pemimpin perusahaan: apakah kehadiran aktif di media sosial benar-benar memperkuat merek, atau justru merusak kredibilitas dan kepercayaan publik?

Data menunjukkan tren ini bukan fenomena kecil. Hampir tiga perempat CEO Fortune 500 kini memiliki akun media sosial, meningkat signifikan dibandingkan beberapa tahun lalu.

LinkedIn menjadi platform favorit, di mana para CEO rutin membagikan konten profesional sekaligus personal. Namun, di balik janji peningkatan visibilitas dan hubungan langsung dengan audiens, tersimpan risiko reputasi, regulasi, hingga hukum yang tak bisa diabaikan.

Tren CEO Aktif di Media Sosial Kian Menguat

Menurut laporan Influential Executive, sekitar 75 persen CEO Fortune 500 tercatat memiliki setidaknya satu akun media sosial. Sementara itu, analisis firma komunikasi H/Advisors Abernathy menunjukkan lebih dari 70 persen CEO Fortune 100 yang aktif di media sosial memposting konten minimal sebulan sekali sepanjang 2024. LinkedIn menjadi platform utama, dengan rata-rata tiga unggahan per bulan.

Ann Mooney Murphy, profesor di Stevens Institute of Technology, menilai kehadiran CEO di media sosial dapat meningkatkan pengenalan merek dan menarik perhatian media arus utama. Bahkan, media sosial memungkinkan terbentuknya hubungan parasosial antara CEO dan publik, sesuatu yang sebelumnya hanya dimiliki figur selebritas.

“Ada manfaat nyata dari kehadiran CEO di dunia maya, tetapi ada juga risiko besar,” kata Ann Mooney Murphy, seorang profesor di Stevens Institute of Technology. “Kita perlu berhati-hati,” tambahnya.

Antara Konten Personal dan Risiko Bisnis

Menariknya, konten yang dibagikan CEO tak melulu soal bisnis. Mulai dari aktivitas konser, hobi DJ, hingga rutinitas harian menjadi bahan unggahan untuk membangun kesan humanis. Namun, gaya ini juga rawan disalahartikan.

Beberapa kasus menunjukkan bagaimana unggahan yang keliru dapat memicu krisis nyata. Pernyataan pendapatan perusahaan, nada kemenangan saat PHK, hingga proyeksi bisnis tanpa izin resmi dapat berujung pada klarifikasi regulator dan kegelisahan investor.

Murphy menegaskan, kesalahan di media sosial berpotensi menimbulkan dampak serius, mulai dari penurunan kepercayaan karyawan, reaksi negatif pasar, hingga risiko hukum bagi perusahaan.

Publisitas Negatif Tetap Menguntungkan?

Meski menuai kritik, sebagian CEO justru menilai sorotan publik, bahkan yang bernada negatif, tetap membawa manfaat. Yehong Zhu, pendiri startup Zette AI, mengaku perusahaannya mendapat lonjakan eksposur dan pendaftaran pengguna setelah konten viral yang menuai kontroversi.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan lama dalam dunia bisnis dan komunikasi, apakah semua publisitas memang baik?

Bagi para CEO, media sosial kini bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan strategi reputasi berisiko tinggi. Di satu sisi, ia membuka peluang membangun merek personal dan perusahaan. Di sisi lain, satu unggahan yang keliru bisa berubah menjadi bumerang yang mahal.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |