Liputan6.com, Jakarta Beberapa pekan lalu, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menemukan perusahaan produsen MinyaKita mengurangi isi kemasan, dengan kemasan 1 liter yang semestinya berisi 1000 mililiter ternyata hanya berisi 750 hingga 800 mililiter.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga menemukan adanya kecurangan pada penjualan minyak goreng MinyaKita yang berlaku dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) melalui skema bundling.
Pengamat Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Khudori mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor terjadinya kecurangan pada volume kemasan MinyaKita, serta penjualan yang dipatok melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET).
Seperti diketahui, HET MinyaKita saat ini berada di Rp15.700/liter, mulai berlaku pada 14 Agustus 2024. HET ini naik dari HET sebelumnya sebesar Rp14.000/liter.
“Mengapa ada perusahaan menyunat isi MinyaKita? Dugaan saya, karena biaya pokok produksi sudah jauh melampaui HET,” kata Khudori dalam keterangannya di Bekasi, dikutip Jumat (28/3/2025).
Khudori menyebut, harga bahan baku minyak goreng sawit atau CPO dalam negeri selama 6 bulan terakhir telah mencapai kisaran Rp15.000-16.000 per kg.
Angka konversi CPO ke minyak goreng 68,28% dan 1 liter setara 0,8 kg. Maka dari itu, untuk memproduksi MinyaKita seharga Rp15.700/liter harga CPO maksimal Rp13.400/kg.
“Ini baru menghitung bahan baku CPO. Belum memperhitungkan biaya mengolah, biaya distribusi, dan margin keuntungan usaha. Kalau ketiga komponen itu diperhitungkan, sudah barang tentu harga CPO harus lebih rendah lagi,” jelas Khudori.
Artinya, dengan tingkat harga CPO saat ini dan keharusan produsen MinyaKita menjual ke Distributor 1 (D1) maksimal sebesar Rp13.500/liter, Khudori melihat, sulit untuk memproduksi dan menjual minyak goreng tanpa kerugian. “Pengusaha mana yang kuat jika terus merugi? Usaha mana yang sustain bila harus jual di bawah harga produksi,” ucapnya.
“Jika tidak ada koreksi kebijakan, ada dua yang berkemungkinan terjadi. Pertama, produsen menjual MinyaKita sesuai Harga Eceran Tertinggi tapi mengorbankan kualitas. Menyunat isi kemasan bisa dimasukkan dalam konteks mengorbankan kualitas. Kedua, produsen tetap memproduksi MinyaKita sesuai kualitas (termasuk tidak menyunat isi) tetapi menjual dengan harga di atas HET,” sambungnya.
Kedua tindakan tersebut tentu menunjukkan adanya pelanggaran. Namun hal ini menjadi dilema karena pengusaha perlu mempertahankan kelangsungnya usahanya.
“Tetapi kalau aturan yang ada tidak memungkinkan usaha eksis dan sustain tanpa melanggar aturan, yang patut disalahkan pengusaha atau pembuat regulasi? Atau keduanya?,” ucap Khudori.