Liputan6.com, Jakarta - Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di Jawa Tengah menunjukkan kiprah nyata dalam mencegah dan mendeteksi tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun mengapresiasi kontribusi aktif mereka dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan.
Direktur Pelaporan PPATK, Patrick Irawan, menegaskan pentingnya kualitas pelaporan sebagai pilar utama sistem anti pencucian uang (APU).
“Kualitas laporan mencakup dua hal utama: kebenaran materi dan ketepatan waktu. Itulah yang membuat pelaporan bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan sebuah kontribusi nyata dalam menjaga integritas sistem keuangan,” ujarnya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Evaluasi dan Peningkatan Kualitas Pelaporan BPR dan BPRS Jawa Tengah” dikutip keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).
Pelaksanaan FGD ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF). Sesuai 40 Rekomendasi FATF dan 11 Immediate Outcomes, efektivitas pelaporan menjadi salah satu indikator kunci dalam penilaian kepatuhan sistem nasional.
Data dari aplikasi goAML milik PPATK mencatat, sejak Februari 2021 hingga Mei 2025, BPR dan BPRS di Jawa Tengah telah mengirimkan 893 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) secara proaktif, serta 65 laporan atas permintaan khusus dari PPATK.
Peran aktif ini menunjukkan bahwa BPR dan BPRS tidak hanya menjadi pelapor pasif, tetapi telah terlibat secara langsung dalam mendeteksi indikasi TPPU sejak dini.
Modus Pencucian Uang
Dalam sesi paparan, Kepala Divisi Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK Provinsi Jawa Tengah, Dyah Kristina Puguh, menyoroti pentingnya digitalisasi pelaporan. “Dengan goAML, pelaporan menjadi terstandardisasi, akurat, dan mendalam. Kualitas analisis meningkat, pengawasan pun makin tajam. Maka janganlah bertahan dengan pencatatan manual,” tegasnya.
FGD ini diikuti oleh lebih dari 37 BPR secara luring dan lebih dari 260 perwakilan BPRS secara daring. Para peserta menerima pembekalan teknis mengenai pelaporan keuangan berdasarkan prinsip 5W2H (what, who, where, when, why, how, how much) secara lengkap dan komprehensif.
Namun demikian, tantangan masih ada. Salah satu kasus yang diangkat dalam diskusi adalah praktik korupsi dan pencucian uang yang melibatkan seorang bupati di Jawa Tengah, oknum pejabat Pemkab, dan pengurus BPR. Modusnya, mereka memindahkan dana APBD ke deposito BPR, lalu menjadikannya agunan untuk ratusan kredit fiktif demi kepentingan pribadi dan politik.
Kerja Sama Diperkuat
Dalam kasus tersebut, laporan dari pihak BPR menjadi bagian penting dalam pengungkapan kejahatan keuangan yang melibatkan pejabat publik. PPATK menilai, hal ini membuktikan sistem bisa berjalan efektif ketika didukung pelaporan yang jujur dan keberanian dari lembaga keuangan lokal.
Melalui forum seperti FGD ini, PPATK berharap kerja sama antara regulator dan pelaku industri di daerah dapat terus diperkuat, demi menciptakan sistem keuangan nasional yang lebih bersih dan terpercaya.