Liputan6.com, Jakarta Ketua Dewan Pakar DPP Asprindo Didin S Damanhuri menegaskan bahwa globalisasi ekonomi yang selama ini menjadi pijakan dunia kini menghadapi ujian berat, dari berkah bagi negara maju hingga bencana bagi negara berkembang. Terutama bagi Indonesia yang berada di persimpangan kritis menghadapi ‘perang dagang’ dan bayang-bayang deglobalisasi pasca tarif impor Trump.
Semenjak keruntuhan komunisme dan berakhirnya periode perang dingin awal dekade 80-an, praktis secara politik dunia memasuki periode Pax-Americana. Yakni, semua negara mau tak mau harus melakukan political adjustment terhadap kekuatan politik dan militer Amerika Serikat (AS) beserta sekutu-sekutunya (tergabung dalam G-7).
Hal itu juga membawa konsekuensi secara ekonomi. Dunia pun masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neoliberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam World Trade Organization (WTO).
"Jika ditilik secara intensif, kita melihat bagaimana asas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO, di mana praktis lembaga tersebut telah menjadi ’wasit’ dalam proses globalisasi. Ini mengingat jargon the borderless world yang mereka implementasikan dalam aturan WTO, bahwa semua negara yang telah meratifikasikan pelbagai aturan yang tercantum dalam WTO, antara lain terpenting semua negara harus menghilangkan semua hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif, dengan jadwal keharusan pelaksanaannya yang sangat ketat, beserta sanksi yang keras jika sebuah negara tak menaatinya," kata Didin, Senin (7/4/2025).
Dengan begitu, berarti semua negara tanpa kecuali berada dalam persaingan bebas dalam perdagangan internasional. Dengan harga dan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan, mereka harus bersaing tanpa perlindungan (proteksi tarif maupun nontarif) dan subsidi apa pun kecuali untuk hal-hal yang sangat terbatas, misalnya bantuan untuk pelatihan bagi kalangan SME (small and medium enterprises).
Juga dalam ’era WTO’ ini, berarti asas neoliberalisme cenderung mengabaikan keragaman kemampuan di antara negara-negara dalam level of playing field. Padahal dengan prinsip tersebut, persaingan hanya akan menghasilkan kemakmuran bersama jika diciptakan suatu kesamaan level dalam kemampuan tiap-tiap peserta/pelaku kegiatan ekonomi.
Namun, dampak lainnya juga amat dahsyat. Antara lain dalam perkembangan dunia finansial. Diawali dalam rangka reposisi kalangan MNC (multi-national corporation) menghadapi persaingan global. Yakni, pada awal tahun 80-an, kalangan MNC bermula berpangkalan di AS dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan. Mereka memanfaatkan dana-dana menganggur semisal yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun dan asuransi. Juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valas dalam pasar uang.
Negara Industri
Cara ini lantas menjalar ke negara-negara industri lainnya di Eropa dan Jepang. Lantas ke negara-negara industri baru, Singapura dan Hong Kong, hingga menghinggapi semua negara dan menjalar ke semua level perusahaan (besar, menengah, bahkan kecil) yang praktis di akhir tahun 80-an dan 90-an terjadi peningkatan arus moneter yang sangat luar biasa dahsyatnya, tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa yang setara.
"Sejak itu pula, fungsi uang bukan lagi sekadar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Sebaliknya, mereka yang merugi dalam satu titik waktu transaksi bisa mengalami kerugian miliaran dolar AS," ungkapnya lagi.
Lebih lanjut, ia menyatakan, wacana tentang globalisasi yang berlangsung sampai saat ini telah terentang dari mulai kubu pro-globalisasi hingga kubu anti-globalisasi. Memang sulit mengambil posisi netral. Bagaimanapun, dalam realitas telah terjadi akselerasi dan intensifikasi, dalam interaksi ekonomi di antara orang per orang, antarperusahaan, hingga antarnegara akibat globalisasi tersebut.
Sejak tahun 1950, volume perdagangan dunia telah meningkat 20 kali lipat. Population Bulletin mencatat, perdagangan barang dan jasa jumlahnya mencapai USD 6,5 triliun pada tahun 2000, yakni hampir seperempat dari total produk domestik bruto (PDB) dunia yang besarnya USD 31 triliun. Adapun arus investasi asing, dari tahun 1997 hingga 1999 saja besarnya hampir dua kali lipat (dari USD 468 miliar menjadi USD 827 miliar).
"Itulah globalisasi, nama yang diberikan pada pertumbuhan kegiatan ekonomi global yang tumbuh semakin intensif. Namun, globalisasi itu juga bisa berarti ‘regionalisme’. Misalnya, ketika terungkap bahwa 75% perdagangan dan 80% produksi berlokasi di dalam tiga blok besar perdagangan regional di dunia ini, yaitu Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat (AS)," kata dia.
Dalam kondisi globalisasi, inisiatifnya berasal dari administrasi Clinton di AS sebagai upaya agar AS dapat mengembalikan supremasi ekonomi dunia karena terjadi defisit anggaran dan perdagangan di era Reagan sekitar US$500 miliar.
Maka, globalisasi sebenarnya mengandung bias AS. Dengan telah berjalannya sekitar 3,5 dasawarsa globalisasi, malah yang lebih diuntungkan ialah Tiongkok, dan AS makin menjadi korban globalisasi itu sendiri. Sementara itu, bagi sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, masih menjadi masalah dalam menghadapi globalisasi.
Dampak Globalisasi
Dalam satu dasawarsa, ternyata administrasi Trump baik di era pemerintahan pertama (2017-2021) maupun kedua (2025-2029), AS sebagai negara adidaya justru menganggap dengan globalisasi telah merugikan perekonomiannya. Yakni terjadinya lagi-lagi defisit neraca peredagangan yang kolosal, sekitar US$918 miliar atau lebih dari Rp15.000 triliun.
Oleh karena itu, secara mengejutkan Trump mengumumkan penaikan tarif sangat tinggi kepada lebih 60 negara untuk ekspor barang dan jasa ke AS. Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yg dikenai tarif sangat tinggi oleh pemerintahan Donald Trump tersebut, yakni sebesar 32%.
"Dari ‘Trump tariff’ tersebut, ada kemungkinan tujuh dampak dan tujuh saran dalam menghadapinya. Dampaknya antara lain, pertama, akan terjadi depresiasi rupiah yang sebelumnya pun sampai 16.700 per dolar AS, dan satu hari sejak pengumuman Trump, kurs dolar AS melampaui 17.000 per dolar AS, dan entah sampai berapa dalam lagi depresiasi rupiah tersebut akan terjadi," kata Prof Didin.
Kedua, akan banyak perusahaan besar melakukan PHK besar-besaran mengingat dalam usahanya terdapat unsur dolar AS sehingga bisa terancam memailitkan dirinya/bangkrut dan kemudian memilih PHK sebagai upaya rasionalisasi korporasi.
Ketiga, terjadi rentetan dampak terhadap berbagai kaitan usaha besar dengan UMKM karena adanya rantai ke depan dan ke belakang dari usaha besar tersebut. Keempat, akan terjadi makin turunnya penerimaan pajak dari pemerintah, yang terakhir ini pun sudah turun sekitar 30%.
Kelima, akan terjadi penurunan daya beli masyarakat secara lebih massif lagi, yang saat inipun sudah terjadi melemahnya daya beli masyarakat (misal mudik baik jumlah orang maupun perputaran uang turun sekitar 24%).
Keenam, akan menimbulkan sentimen pesimisme baik dalam usaha UMKM dan usaha besar maupun pemerintah (pusat maupun daerah), yang sekarang pun pesimisme tersebut sudah cukup melanda publik atas perekonomian. Ketujuh, akan makin meningkatnya aksi kriminalitas, yang kini pun sudah meresahkan masyarakat.
Strategi yang Harus Dilakukan Pemerintah
Oleh karena itu, beberapa upaya disarankan. Pertama, pemerintahan Prabowo segera mengevaluasi dampak jangka pendek, menengah, dan panjang akibat tarif tinggi dari AS terhadap perekonomian, seraya melakukan negosiasi langsung dengan pemerintahan Trump, membuat kebijakan diversifikasi tujuan ekspor, serta upaya kerja sama ekonomi ASEAN, OKI, atau BRICS plus.
Kedua, hendaknya pemerintah melakukan reajustment terhadap situasi baru akibat dampak jangka pendek, menengah, dan panjang atas tarif tinggi dari AS tersebut atas keseluruhan visi, misi, dan program pemerintah sendiri.
Ketiga, hendaknya disiapkan shifting pendanaan dari progran-program jangka menengah dan panjang untuk memberikan stimulus besar-besaran kepada para pelaku usaha guna membangkitkan pasar dalam negeri terutama kepada kalangan UMKM dan daerah-daerah.
Keempat, menghentikan pengeluaran-pengeluaran APBN dan APBD yang tidak perlu, seperti perjalanan ke luar negeri, rapat-rapat di hotel, dan upacara-upacara seremonial.
Kelima, menghentikan narasi-narasi pembelahan bangsa baik dari kalangan the rullling elite maupun civil society dan didorong terjadinya konsolidasi politik, ekonomi, dan sosial untuk menghadapi situasi terburuk sekalipun.
Keenam, kepada keluarga-keluarga hendaknya melakukan belanja yang lebih memprioritaskan pada kebutuhan pokok seraya lebih menghidupkan kondisi tolong-menolong (ta’awun) antarkeluarga, tetangga, antar-RT/RW, daerah-daerah, sehingga tak seorang pun dibiarkan ekonomi keluarganya mengalami kesulitan.
Ketujuh, hendaknya aparat keamanan lebih gercep dan bijak menghadapi situasi gangguan kamtibmas yang mungkin makin meningkat dalam waktu-waktu ke depan.
"Mudah-mudahan, Indonesia dapat mengambil hikmah, baik dari pengalaman dalam menghadapi globalisasi maupun kemungkinan menghadapi deglobalisasi ke depan," pungkasnya.