Liputan6.com, Jakarta - Negosiator tingkat tinggi dari Amerika Serikat dan Tiongkok bertemu di Stockholm, Swedia, pada Senin (28/7/2025), untuk kembali membahas jalan tengah atas ketegangan perdagangan yang telah memanas sejak beberapa tahun terakhir. Pertemuan ini bertujuan memperpanjang masa damai dagang, guna mencegah pemberlakuan tarif impor baru yang bisa memicu guncangan besar dalam rantai pasok global.
Tiongkok menghadapi tenggat waktu hingga 12 Agustus untuk mencapai kesepakatan tarif berkelanjutan dengan pemerintahan Presiden Donald Trump. Sebelumnya, kedua negara sempat mencapai kesepakatan awal pada Juni untuk meredakan perang tarif.
“Jika tidak ada kesepakatan, tarif bisa kembali melonjak hingga di atas 100 persen,” ungkap sumber diplomatik yang mengetahui negosiasi tersebut, dikutip dari CNBC, Senin (28/7/2025).
Pertemuan ini dipimpin oleh Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok He Lifeng, sehari setelah Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyepakati tarif dasar 15 persen atas produk Uni Eropa dalam pertemuan informal dengan Presiden Trump di Skotlandia.
Pertemuan Kecil, Taruhannya Besar
Meskipun analis menilai pertemuan Stockholm ini kecil kemungkinannya menghasilkan terobosan, mereka sepakat pentingnya dialog untuk mencegah eskalasi lebih jauh dan membuka peluang pertemuan antara Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping akhir tahun ini.
Sebelumnya, negosiasi dagang di Jenewa dan London fokus menurunkan tarif saling balas yang kini mencapai tiga digit serta memulihkan arus perdagangan barang penting seperti mineral tanah jarang, chip AI Nvidia H20, dan produk lain yang terkena sanksi.
Namun, isu-isu struktural yang lebih luas, seperti model ekonomi Tiongkok yang dinilai “membanjiri dunia dengan barang murah”, serta pembatasan ekspor teknologi oleh AS atas nama keamanan nasional, belum sepenuhnya disentuh.
“Ini akan jadi perundingan paling signifikan antara AS dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir,” kata Bo Zhengyuan, mitra firma riset Plenum di Shanghai, seperti dikutip CNBC.
Trump Ingin Deal, Tapi Tiongkok Tak Gampang
Trump sebelumnya berhasil menekan sejumlah negara seperti Jepang dan Vietnam untuk menerima tarif baru antara 15 hingga 20 persen. Namun, negosiasi dengan Tiongkok dianggap jauh lebih rumit.
Salah satu faktornya adalah dominasi Tiongkok dalam pasokan mineral tanah jarang dan magnet industri — komoditas krusial bagi industri pertahanan dan teknologi AS. Kendali Tiongkok atas komoditas ini menjadi alat diplomasi kuat.
Spekulasi juga berkembang bahwa Trump berencana mengunjungi Tiongkok akhir Oktober. Namun rencana itu bisa batal jika tensi kembali memanas akibat lonjakan tarif atau pembatasan ekspor lanjutan.
“Pertemuan di Stockholm adalah langkah awal membangun dasar pertemuan Trump-Xi,” ujar Wendy Cutler, Wakil Presiden Asia Society Policy Institute.
Tarif Bisa Ditunda, Tapi Tidak Hilang
Bessent menyatakan terbuka untuk memperpanjang tenggat 12 Agustus guna mencegah lonjakan tarif—dari sisi AS sebesar 145 persen dan dari Tiongkok 125 persen. Namun, Tiongkok diperkirakan akan meminta pengurangan lebih lanjut atas tarif yang saat ini total mencapai 55 persen, serta pelonggaran pembatasan ekspor teknologi tinggi dari AS.
Beijing berargumen, ekspor barang teknologi ke Tiongkok justru bisa membantu mengurangi defisit perdagangan AS, yang tahun lalu menyentuh 295,5 miliar dolar.
Sementara itu, tarif saat ini mencakup 20 persen atas produk terkait fentanyl, 10 persen untuk barang balasan, dan 25 persen atas sebagian besar barang industri, semuanya diberlakukan selama masa jabatan pertama Trump.
Bessent menegaskan perundingan ini juga akan menyentuh pentingnya transformasi ekonomi Tiongkok—dari yang selama ini berbasis ekspor menjadi konsumsi domestik. Perubahan ini menuntut penyelesaian krisis properti serta penguatan jaminan sosial di Tiongkok untuk mendorong belanja masyarakat.
“Selama dua dekade, kita berusaha mendorong Tiongkok menyeimbangkan kembali ekonominya,” ujar Michael Froman, mantan perwakilan dagang AS era Obama, kini Presiden Council on Foreign Relations. “Tapi apakah tarif bisa benar-benar memaksa perubahan fundamental itu? Masih perlu dibuktikan.”