Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia (The World Bank), pada Selasa, 8 Oktober 2025 menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025, seiring peningkatan keseluruhan prospek pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Kenaikan ini terjadi setelah musim panas yang diwarnai ketidakpastian global akibat tarif tinggi dari Amerika Serikat.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi China akan tumbuh 4,8 persen pada 2025, naik dari proyeksi 4 persen yang dirilis pada April lalu. Angka tersebut kini mendekati target resmi pemerintah China, yakni pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 5 persen tahun depan. Demikian seperti dikutip dari CNBC, Rabu (8/10/2025).
Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik alasan revisi proyeksi tersebut, para ekonom Bank Dunia mencatat perekonomian China masih mendapatkan dorongan dari dukungan kebijakan pemerintah yang diperkirakan berkurang tahun depan.
Ketegangan dagang antara China dan Amerika Serikat meningkat tajam pada April lalu. Saat itu, tarif impor AS terhadap barang-barang China sempat melonjak hingga di atas 100 persen sebelum kedua negara mencapai gencatan dagang yang kini berlaku hingga pertengahan November. Saat ini, tarif AS terhadap produk China berada di 57,6 persen, lebih dari dua kali lipat dibanding awal tahun.
China Dongkrak Stimulus Ekonomi
Sebagai tanggapan, China meningkatkan stimulus ekonomi pada akhir 2024 dan mempertahankan program trade-in (tukar tambah konsumen) terarah untuk mendorong penjualan ritel.
Ekspor, yang menjadi salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi, juga terus meningkat sepanjang tahun ini. Kenaikan pengiriman ke kawasan Asia Tenggara dan Eropa berhasil menutupi penurunan tajam ekspor ke AS. Selain itu, peningkatan pesanan dari perusahaan yang berupaya mengantisipasi tarif lebih tinggi turut menopang ekspor China.
Pertumbuhan ekspor ini membantu China mengimbangi pelemahan di dalam negeri akibat krisis properti yang berlarut dan konsumsi masyarakat yang lesu. Namun, Bank Dunia memperkirakan momentum tersebut akan melambat.
Bank Dunia Prediksi Penurunan PDB China
Pada 2026, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan PDB China akan turun menjadi 4,2 persen, seiring melambatnya ekspor dan berkurangnya stimulus fiskal guna menekan laju kenaikan utang publik. Para ekonom juga memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi China akan terus moderat dibanding periode ekspansi pesat di masa lalu.
Data terbaru menunjukkan penjualan ritel China naik 3,4 persen pada Agustus dibanding periode sama tahun sebelumnya, di bawah ekspektasi analis. Sementara itu, investasi di sektor real estat kembali melemah, turun 12,9 persen dalam delapan bulan pertama tahun ini, lebih dalam dari penurunan 12 persen pada tujuh bulan pertama.
Sinyal lemahnya konsumsi juga terlihat dari data awal periode libur panjang “Golden Week” delapan hari yang akan berakhir pada Rabu (8/10/2025).
Rata-Rata Perjalanan Penumpang Domestik
Menurut laporan Kepala Ekonom China Nomura, Ting Lu, rata-rata perjalanan penumpang domestik per hari selama 1–5 Oktober naik 5,4 persen secara tahunan menjadi 296 juta perjalanan. Namun, angka ini lebih rendah dari pertumbuhan 7,9 persen yang tercatat selama libur 1–5 Mei.
“Pertumbuhan konsumsi aktual bisa jadi lebih lemah dari yang ditunjukkan data,” kata Ting Lu dalam laporannya pada Senin, 7 Oktober 2025 mengingat tahun ini “Golden Week” bertepatan dengan dua hari libur besar.
Tahun ini, Hari Nasional China jatuh pada 1 Oktober, sedangkan Festival Pertengahan Musim Gugur dirayakan pada 6 Oktober, berbeda dengan tahun lalu yang jatuh pada 17 September. Akibatnya, periode libur Golden Week 2025 berlangsung dari 1–8 Oktober, lebih panjang dibanding 1–7 Oktober tahun lalu.
Tantangan Struktural China
Para ekonom juga menyoroti tantangan struktural yang dihadapi China, mulai dari tingginya tingkat pengangguran muda, yaitu sekitar 1 dari 7 anak muda tidak bekerja, hingga disrupsi teknologi dan penuaan populasi.
Bank Dunia mencatat, startup di China hanya mampu meningkatkan lapangan kerja empat kali lipat, jauh di bawah tujuh kali lipat di Amerika Serikat. Salah satu faktor pembeda utamanya adalah dominasi perusahaan milik negara (BUMN) di China yang menekan dinamika sektor swasta.
Bank Dunia memperkirakan, penurunan pertumbuhan PDB China sebesar 1 poin persentase dapat menurunkan pertumbuhan di kawasan Asia Timur dan Pasifik sebesar 0,3 poin. Dengan kenaikan proyeksi PDB China, kawasan ini kini diperkirakan akan tumbuh 4,8 persen tahun ini, naik dari 4 persen yang diproyeksikan sebelumnya.
Sebagai perbandingan, pada Juni lalu Bank Dunia sempat memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2025 menjadi 2,3 persen, terutama akibat ketidakpastian perdagangan. Angka ini diperkirakan menjadi laju pertumbuhan global paling lambat sejak 2008, di luar periode resesi dunia.