ASEAN Harus Kompak Hadapi Ketidakpastian Global

15 hours ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang kian dinamis, OCBC menggelar Business Forum 2025 bertema “Strategic Resilience: Growth in the Era of Uncertainty” di Astor Ballroom, The St. Regis Jakarta, Jumat (24/10/2025).

Forum ini menjadi ajang penting bagi para pemimpin bisnis, ekonom, dan pembuat kebijakan untuk membahas strategi memperkuat ketahanan ekonomi dan menjaga laju pertumbuhan di tengah tekanan geopolitik dan disrupsi teknologi.

Presiden Direktur OCBC, Parwati Surjaudaja, menegaskan bahwa kolaborasi dan adaptasi menjadi kunci menghadapi perubahan ekonomi global.

“Dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah, kolaborasi menjadi kunci dalam menangkap peluang. Melalui forum ini, kami ingin menciptakan ruang bagi para pelaku bisnis untuk bertukar wawasan, memperluas jaringan, dan menavigasi tantangan menjadi peluang baru di tengah momentum positif perekonomian Indonesia,” ujarnya.

Forum yang dihadiri lebih dari 600 peserta, mulai dari pelaku usaha kecil-menengah, korporasi, hingga regulator, menyoroti pentingnya memperkuat daya saing melalui inovasi dan sinergi lintas sektor.

Tahun ini, OCBC juga memperkenalkan format baru “Private Consultation”, di mana para peserta dapat berdiskusi langsung dengan pakar keuangan untuk mendapatkan rekomendasi strategis yang disesuaikan dengan profil bisnis masing-masing.

Promosi 1

ASEAN Harus Kompak Hadapi Fragmentasi Ekonomi Global

Dalam sesi pembuka, Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Prof. Danny Quah, menekankan bahwa dunia saat ini tengah menghadapi dua tantangan besar: fragmentasi dan ketidakpastian.

Menurutnya, ekonomi global kini tidak lagi saling terhubung secara mudah seperti satu dekade lalu, melainkan terpecah akibat rivalitas geopolitik, proteksionisme, dan tekanan internal negara-negara besar.

“Kita perlu melindungi diri dari guncangan eksternal tanpa menjadi proteksionis. ASEAN harus mampu menunjukkan kekompakan agar tidak mudah terombang-ambing oleh keputusan sepihak negara-negara besar,” kata Prof. Quah.

Ia mencontohkan kasus Vietnam yang sempat melakukan negosiasi unilateral dengan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif.

“Vietnam sempat mengira berhasil menurunkan tarif, tapi kebijakan itu justru dibatalkan sepihak oleh AS. Dari situ kita belajar, ASEAN harus kompak menghadapi tekanan eksternal agar tidak dipermainkan kekuatan besar,” jelasnya.

Prof. Quah menambahkan, aliran modal global selama ini terlalu berfokus pada pasar Amerika Serikat. Padahal, menurutnya, Asia Tenggara tengah menjadi pusat gravitasi ekonomi baru dunia.

“Menaruh uang di pasar keuangan Amerika kini seperti membuang waktu. Dalam 20–30 tahun terakhir, semua modal dunia mengalir ke sana, tapi dengan ketidakpastian saat ini, kita seharusnya melihat ke dalam, ke kawasan kita sendiri—Asia Tenggara,” tegasnya.

Dewan Ekonomi Nasional: Diversifikasi Pasar dan Reformasi Domestik Jadi Kunci

Sementara itu, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Septian Hario Seto, menyoroti tantangan yang dihadapi Indonesia akibat perlambatan ekonomi China dan perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia mengungkapkan bahwa foreign direct investment (FDI) dari Tiongkok menunjukkan tren melambat, karena Beijing kini lebih fokus menjaga stabilitas domestik.

“Dalam lima sampai delapan tahun terakhir, FDI dari Tiongkok cukup besar, tapi kini kita tidak bisa mengharapkan hal yang sama. Pemerintah China sedang membatasi aliran modal keluar untuk menahan perekonomian domestiknya,” ujar Seto.

Ia juga menyoroti langkah China yang memperketat ekspor teknologi strategis seperti baterai litium dan rare earth minerals.

“Sekarang ekspor komponen baterai litium harus mendapatkan izin pemerintah China. Ini strategi untuk menjaga agar teknologinya tidak dicuri negara lain,” katanya.

Dari sisi perdagangan, Seto menilai bahwa kebijakan tarif tinggi Amerika terhadap barang-barang China membuat produk China mengalir deras ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Adanya tren baru perusahaan Tiongkok yang mencari pendanaan lewat IPO di Hong Kong untuk kemudian berinvestasi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

“Barang-barang murah dari China bisa jadi keuntungan bagi konsumen, tapi bisa mengancam industri domestik. Pemerintah sudah menyiapkan langkah antisipatif bila praktik ini terbukti unfair atau tidak adil,” jelasnya.

Selain menyoroti risiko eksternal, Seto juga menekankan pentingnya memperkuat permintaan domestik melalui belanja pemerintah dan digitalisasi regulasi perizinan investasi.

“Pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai jika pemerintah hanya menahan anggaran. Belanja negara harus jadi motor penggerak demand. Di sisi lain, digitalisasi sistem perizinan dan penggunaan AI dalam OSS akan mempercepat investasi,” katanya optimistis.

Ia juga menyoroti peluang besar yang muncul dari perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa yang diharapkan rampung pada 2027.

“Pasar Eropa menawarkan potensi ekspor garmen dan sepatu hingga 50 persen lebih tinggi  dibandingkan pasar Amerika, dengan tarif yang akan turun hingga 5 persen. Ini momentum bagi diversifikasi pasar ekspor Indonesia, menilai Uni Eropa ini adalah salah satu pasar yang cukup besar,” ujarnya.

Ia menegaskan potensi besar jika melakukan kerja sama dengan Uni Eropa, “Pasar Eropa Menjadi second option yang strategis,” ujarnya.

OCBC Dorong Sinergi dan Solusi Bisnis Adaptif

Melalui forum ini, OCBC menegaskan komitmennya untuk menjadi mitra pertumbuhan berkelanjutan bagi pelaku usaha. Parwati menutup acara dengan pesan inspiratif:

“Kami meyakini bahwa dukungan perbankan yang tepat dapat membantu pelaku usaha bertumbuh lebih tangguh dan adaptif di tengah kondisi yang menantang. Kami percaya, kemajuan dunia usaha akan semakin kuat ketika sektor keuangan dan bisnis berjalan beriringan.”

Dengan semangat kolaborasi dan ketahanan, OCBC Business Forum 2025 menjadi bukti nyata bagaimana dunia usaha dan sektor keuangan dapat berperan bersama dalam menghadapi era penuh ketidakpastian, sekaligus menegaskan peran Asia Tenggara sebagai motor pertumbuhan ekonomi global.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |