AS di Ujung Jurang Shutdown: Ancaman Resesi dan Gangguan Data Ekonomi di Depan Mata

3 weeks ago 49

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah federal Amerika Serikat (AS) kini tengah menghadapi ancaman penutupan (shutdown) di momen yang sensitif bagi perekonomian. Perlambatan perekrutan tenaga kerja memicu kekhawatiran resesi, sementara inflasi masih sulit dikendalikan sepenuhnya.

Dilansir dari ABC News pada Rabu, (1/10/2025), Ketua The Federal Reserve, Jerome Powell, pekan lalu mengingatkan bahwa para pembuat kebijakan sedang menghadapi situasi penuh tantangan dalam menavigasi perekonomian di periode yang bergejolak.

Biasanya, dampak shutdown terhadap ekonomi AS hanya sebatas kerugian moderat, terutama karena pekerja federal yang dirumahkan sementara (furlough) kehilangan pendapatan dan mengurangi konsumsi.

Namun, kondisi kali ini dipandang berbeda. Dengan ekonomi yang rapuh, interupsi berkepanjangan dikhawatirkan menambah tekanan.

Terhentinya publikasi data ekonomi penting juga bisa menghambat langkah pembuat kebijakan dalam mengambil keputusan.

“Di masa stabil, ini bukan masalah besar. Namun, mungkin ini menjadi sedikit lebih penting sekarang,” kata Marc Goldwin, Wakil Presiden Senior sekaligus Direktur Kebijakan di Committee for a Responsible Federal Budget, kepada ABC News.

Senin (30/9/2025) waktu setempat, para pemimpin Kongres bertemu dengan Presiden Donald Trump di Gedung Putih dalam upaya terakhir mencegah shutdown.

Namun, dengan kebuntuan yang masih terjadi dan tenggat Selasa malam kian dekat, kemungkinan shutdown hampir tak terelakkan kecuali muncul terobosan mendadak.

Baik dari Partai Demokrat maupun Republik, masing-masing kubu tetap bertahan pada posisinya.

Dampak Bagi Pekerja dan Dunia Usaha

Menurut Mark Zandi, Kepala Ekonom Moody’s Analytics, setiap pekan shutdown bisa memangkas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil tahunan kuartalan sebesar 0,1%.

Sebagai gambaran, sepanjang paruh pertama 2025, ekonomi AS tumbuh rata-rata 1,8% secara tahunan. Artinya, perlu beberapa pekan shutdown untuk benar-benar menimbulkan kerusakan signifikan.

Sejarah mencatat, sejak 1977 pemerintah AS sudah 20 kali gagal memenuhi tenggat pendanaan, dengan rata-rata shutdown berlangsung 8 hari.

Namun, shutdown terakhir di era Trump pada 2018 jauh lebih panjang, mencapai 35 hari, menurut catatan Bank of America Institute (BAI).

Shutdown akan memaksa sebagian pegawai federal non-esensial dirumahkan tanpa gaji. Kontraktor pemerintah pun berpotensi kehilangan pekerjaan sementara.

Dalam shutdown sebelumnya, jumlah pekerja federal yang terdampak mencapai sekitar 800 ribu orang. Namun, kali ini jumlahnya diperkirakan lebih kecil karena adanya pemangkasan anggaran.

Meski begitu, Trump sempat mengancam akan memecat sebagian pekerja federal jika shutdown terjadi. Ancaman tersebut, menurut sejumlah pakar, bisa memperparah dampak ekonomi.

Sebab, biasanya perekonomian mampu pulih setelah pekerja mendapat gaji yang tertunda. Namun jika terjadi pemecatan, pemulihan tidak akan optimal.

Sementara itu, layanan penting seperti pertahanan, penegakan hukum, serta program pengeluaran wajib seperti Jaminan Sosial (Social Security) dan Medicare tetap berjalan.

“Kalau shutdown berlangsung lama, dampaknya hampir pasti akan negatif,” kata Gerald Epstein, profesor ekonomi dari University of Massachusetts, Amherst.

Sentimen Konsumen dan Pasar Keuangan

Selain mengganggu aktivitas ekonomi, shutdown juga berisiko menekan sentimen konsumen. Analisis Committee for a Responsible Federal Budget terhadap data survei University of Michigan menunjukkan, sentimen konsumen turun lebih dari 7 poin saat shutdown 2018. Pola penurunan serupa juga terjadi dalam tiga shutdown sebelumnya.

“Sentimen konsumen biasanya menjadi indikator besar bagi konsumsi, dan konsumsi menyumbang sekitar 70% dari perekonomian AS,” ujar Epstein.

Meski begitu, para analis juga menekankan, jika shutdown dapat segera diselesaikan dalam hitungan hari, dampaknya kemungkinan tetap minimal.

Uniknya, pasar saham justru menunjukkan daya tahan selama periode shutdown. Indeks S&P 500 bahkan naik dalam empat shutdown terakhir, termasuk pada 2018 ketika indeks menguat lebih dari 10%, ungkap Brian Gardner, Chief Washington Strategist di Stifel.

Data Ekonomi Bisa Tertunda

Di sisi lain, kebijakan moneter The Fed bisa terganggu. Departemen Tenaga Kerja AS mengumumkan sebagian data tidak akan dirilis jika shutdown terjadi, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan yang dijadwalkan Jumat ini.

Padahal, The Fed tengah berada di jalur sulit setelah memangkas suku bunga bulan ini. Bank sentral berupaya menjaga keseimbangan antara menahan inflasi dan mendukung pasar tenaga kerja.

Powell menegaskan, perlambatan perekrutan musim panas lalu telah menggeser fokus risiko dari inflasi menuju pasar kerja. Meski demikian, ia tetap mengingatkan bahwa ketidakpastian inflasi masih tinggi.

Jika data pemerintah tertunda, bank sentral hanya bisa mengandalkan data sektor swasta. Namun, Goldwin menilai kondisi ini akan membuat langkah The Fed lebih riskan.

“Mereka seperti berjalan di tali, mencoba memutuskan apakah harus menurunkan suku bunga atau tidak. Ketika visi sedikit kabur di sudut mata, itu sangat berbahaya,” katanya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |