Liputan6.com, Jakarta - SUN Energy berkolaborasi dengan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk melakukan instalasi stasiun pengisian daya bertenaga surya (solar charging station) bernama CHARGEE, yang dipasang di beberapa titik Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
CHARGEE merupakan stasiun pengisian daya yang dirancang oleh SUN Energy untuk mengisi ulang daya handphone dengan menggunakan energi matahari sebagai sumber listrik. Unit ini bersifat portabel dan dapat dipindahkan ke berbagai lokasi sesuai kebutuhan, dan tidak menghasilkan emisi karbon.
CEO SUN Energy Emmanuel Jefferson Kuesar mengatakan, kehadiran tempat charging HP dari Energi matahari ini tidak hanya memberikan akses listrik bersih kepada para pengunjung, tapi juga menjadi bagian dari edukasi penting tentang gaya hidup rendah emisi yang mudah dilakukan.
"Kami percaya bahwa energi bersih tidak mengenal batas ruang maupun skala. Kolaborasi ini bukan hanya simbol komitmen kami, tetapi juga langkah nyata bersama Indocement untuk mendorong transisi energi dan mempercepat tercapainya masa depan rendah karbon," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Selasa (5/8/2025).
Ke depan, SUN Energy dan Indocement membuka peluang kolaborasi yang lebih luas untuk semakin terlibat dalam aksi mitigasi perubahan iklim.
Mitigasi Krisis Perubahan Iklim
Direktur Utama Indocement Christian Kartawijaya menyatakan, kolaborasi ini mencerminkan kesamaan visi kedua perusahaan dalam menghadapi krisis iklim yang kian mendesak. Sejalan dengan semangat aksi nyata yang diusung dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) Nomor 13: Penanganan Perubahan Iklim.
Sebagai perusahaan yang berfokus pada solusi energi terbarukan, pihaknya percaya bahwa transisi menuju masa depan rendah karbon harus dimulai dari berbagai lini, termasuk ruang publik.
"Kehadiran CHARGEE menunjukkan bahwa teknologi bersih dapat diakses oleh publik luas dan menjadi bagian dari budaya baru dalam penyelenggaraan event yang ramah lingkungan. Sejalan dengan misi Indocement yang selalu mengedepankan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam operasionalnya," tuturnya.
Pengusaha Minta Indonesia Tetap Komitmen pada Energi Hijau
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Anggawira, meminta pemerintah untuk tetap bertahan pada komitmen di jalur energi hijau.
Di tengah seruan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bakal kembali mendorong penggunaan energi fosil, dengan slogan, "Drill, Baby, Drill."
Anggawira mengatakan, meskipun Washington DC melalui kebijakan One Big Beautiful Bill Act (OBBBA) mencabut berbagai insentif energi bersih dan memperkuat eksploitasi minyak dan gas AS, mayoritas negara dunia justru mempercepat transisi energi.
Ia mencontohkan Uni Eropa, yang tetap berkomitmen pada CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) yang akan mengenakan pajak karbon pada barang ekspor dari negara yang tidak menerapkan standar rendah emisi.
Kemudian China, dengan Belt and Road Initiative bakal mengedepankan green infrastructure dan investasi energi bersih. Termasuk negara-negara ASEAN seperti Vietnam dan Thailand, yang semakin agresif mengadopsi solar PV, EV, dan green hydrogen untuk menarik investor industri bersih.
"Kesimpulannya, OBBBA bersifat domestik dan temporer, sedangkan arah global sudah mengunci jalur transisi energi," ujar Anggawira kepada Liputan6.com, Sabtu (5/7/2025).
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) tersebut menilai, Indonesia punya modal energi baru terbarukan (EBT) yang sangat besar, sehingga sayang untuk diabaikan.
Potensi Energi Surya, Angin dan Air
Menurut dia, Indonesia memiliki potensi energi Surya lebih dari 200 GWp. Kemudian ada juga potensi energi air atau hidro dan pumped storage, kemudian geothermal atau panas bumi terbesar kedua di dunia, serta biomassa dan angin di wilayah timur.
Namun, pemanfaatannya masih rendah. EBT hanya menyumbang sekitar 12 persen dari bauran energi nasional per 2023. Sementara kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar kurang dari 1 GW.
"Jika Indonesia tidak segera mengembangkan potensi ini, maka kita akan kehilangan peluang menjadi eksportir energi hijau (misalnya green hydrogen, green ammonia). Industri lokal akan tertinggal dalam sertifikasi hijau untuk ekspor ke pasar global. Rantai pasok global akan menjauhi kita karena tidak ramah lingkungan," bebernya.
Industrialisasi Hijau = Akses Pasar + Daya Saing
Anggawira menilai, industrialisasi hijau bukan hanya soal lingkungan, tapi soal bisnis dan kelangsungan industri ekspor.
Lantaran, ia menyebut produk dengan jejak karbon tinggi akan dipersulit masuk pasar global. Di sisi lain, pabrik dan smelter berbasis EBT akan lebih dipercaya oleh investor. Kemudian pabrik nikel, baterai EV, dan petrokimia akan lebih kompetitif jika didukung energi bersih (bukan batu bara).
"Kita harus menciptakan green competitiveness jika ingin bertahan di global value chain," pungkas Anggawira.