Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Ketenagakerjaan Timboel Siregar memberikan masukan terhadap kebijakan pembangunan rumah subsidi berukuran 14 meter persegi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Menurutnya, rumah sekecil itu tidak manusiawi dan tidak cocok dijadikan hunian, terutama bagi para pekerja yang nantinya akan berkeluarga.
"Menurut saya tidak tepat lah ya. Kalau kita kan selama ini 36 meter persegi lah ya. Yang memang tentunya pekerja itu kan juga akan berharap memiliki rumah, punya keluarga, punya anak kan gitu ya. Kalau dia 14 meter persegi sendiri aja udah sesak," kata Timboel kepada Liputan6.com, Sabtu (28/6/2025).
Timboel menilai pembangunan rumah tapak mungil lebih mencerminkan pendekatan jangka pendek. Menurutnya, jika memang pemerintah tak mampu membangun rumah tapak dengan luas ideal, maka alternatifnya bisa berupa rumah susun yang memiliki luasan layak bagi kehidupan keluarga.
"Nah sekarang gini, pemerintah sekarang kalau memang tidak bisa rumah tapak itu rumah ini aja. Susun aja yang relatif lebih luas sehingga bisa menjadi rumah yang layak untuk keluarga gitu," ujarnya.
Ia menolak gagasan bahwa rumah kecil hanya ditujukan bagi pekerja lajang. Menurutnya, hal itu seperti tidak memberikan harapan masa depan yang layak.
"Jadi, menurut saya sih yang 14 meter persegi dan 18 meter persegi nggak usah dilanjutkan ya. Itu bagian dari proses yang tidak memanusiakan si pekerja, masyarakat lah ya," ungkapnya.
Dorong Skema MLT Perumahan Lewat BPJS Ketenagakerjaan
Daripada membangun rumah yang terlalu sempit, Timboel mendorong agar pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan memaksimalkan manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan.
Ia menyarankan agar Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) terkait MLT direvisi untuk memberi kemudahan suku bunga dan persyaratan pinjaman.
"Sekarang kalau untuk pekerja, menurut saya Manfaat Layanan Tambahan (MLT) perumahan yang ada di BPJS Ketenagakerjaan itu dimaksimalkan," ujarnya.
Salah satu contoh, kata dia, adalah kebijakan ketat soal pinjaman motor yang bisa menggugurkan hak pekerja untuk memperoleh skema MLT. Padahal, menurutnya, Jaminan Hari Tua (JHT) pekerja bisa dijadikan jaminan atau kolateral untuk pinjaman rumah.
Kombinasi Skema MLT dan FLPP Dinilai Lebih Ideal
Lebih lanjut, Timboel mengusulkan agar skema MLT perumahan digabungkan dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), yang menawarkan bunga rendah. Selisih dari subsidi bunga itu bisa ditutup dari hasil pengembangan dana JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
"Jadi, MLT perumahan, skemanya itu, tapi dia suku bunganya di FLPP. Nah selisihnya di mana? Ya subsidi dari si BPJS Ketenagakerjaan. Dengan hasil investasi. Kan hasil investasi cukup besar Rp 817 triliun itu kan bisa ditargetkan Rp 60 triliun hasil investasi untuk seluruh program ya," jelas Timboel.
Ia menilai, dana JHT yang nilainya besar sudah cukup untuk mendukung pembiayaan tersebut.