Liputan6.com, Jakarta Perbankan nasional disebut mengguyurkan dana jumbo untuk proyek berbasis batu bara pada periode 2021-2024. Nilainya mencapai USD 5,6 miliar atau sekitar Rp 92,1 triliun (kurs 16.456 per USD) dari 5 bank domestik besar mengalir untuk mendanai proyek dengan emisi karbon tinggi.
Peneliti Laporan Bersihkan Bankmu, Nabila Gunawan menyoroti data pendanaan bank nasional ke proyek batubara ini tak sejalan dengan komitmen pendanaan hijau. Termasuk dalam upaya untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan. Adapun, total proyek batubara dari 7-8 perusahaan mencapai USD 7,8 miliar, angka mayoritas tadi didanai bank nasional.
"Itu USD 5,6 miliar itu dari hanya 5 bank ini. Yang aku yakin kita semua punya akun ya di sini, saya pun juga. Ini terutama yang 4 bank besar di Indonesia ya, Mandiri, Bank Negara, Bank Rakyat. Jadi lumayan signifikan kontribusi bank domestik, bank Indonesia terhadap perusahaan Batubara," kata Nabila dalam diskusi di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Dia merinci kontribusi sejumlah bank yang mengalirkan dananya untuk proyek batu bara. Diantaranya, Bank Mandiri senilai USD 3,2 miliar, BRI senilai USD 809,6 juta, BNI senilai USD 719,7 juta, BCA senilai USD 451 juta, serta Bank Permata senilai USD 424 juta.
Nabila menyoroti, angka kumulatif USD 5,6 miliar yang diguyur bank domestik ini seharusnya bisa memdanai 19 proyek energi baru terbarukan (EBT) di bawah Just Energy Transition Partnership (JETP).
"Dan untuk estimasi seberapa banyak loans yang diberikan ke batu bara ini, USD 5,6 miliar itu bisa mendanai kurang lebih 19 proyek energi terbarukan yang di bawah JETP ya. Jadi sebenarnya bisa dialokasikan ke energi terbarukan tapi malah dialokasikan untuk membakar iklim kita ke perusahaan batubara, yang 2 dari 7 perusahaan batu bara ini masih melakukan ekspansi," tuturnya.
Bagaimana Solusinya?
Nabila menuturkan lagi, ada sejumlah solusi yang bisa dilakukan perbankan nasional. Utamanya dengan tujuan untuk mendukung upaya menuju transisi energi bersih melalui pendanaan hijau.
Pertama, mengadopsi Net Zero 2050. Mengikuti analisa Badan Energi Internasional untuk tidak mendanai proyek batubara baru maupun ekspansi. Kedua, menerapkan kebijakan Coal Exclusion. Sebagai safeguard dan sebagai bentuk mitigasi risiko climate-related financial risk, termasuk membatasi pendanaan ke PLTU captive.
Ketiga, memiliki target phase-down eksposur portofolio terhadap batubara. Target penurunan portofolio batubara secara bertahan dan sejalan dengan sains iklim (net zero 2050).
"Jadi bukannya bentuk solusi yang baru dan belum pernah dilakukan dan belum pernah terbukti. Sebenarnya sudah dilakukan perbankan di Asia Tenggara maupun di luar negeri," tandasnya.
APBN Buat Transisi Energi
Diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Thomas Djiwandono menegaskan pemerintah tidak melakukan pemotongan anggaran dalam kebijakan fiskal 2025. Ia memastikan, anggaran tetap berada di angka Rp3.621 triliun, tetapi dilakukan realokasi untuk mendukung program-program yang lebih produktif, terutama dalam mendorong transisi energi.
"Di Indonesia, kami tidak memotong anggaran. Kami merealokasi anggaran. Ini sangat penting, karena anggaran tahun 2025 dalam basis rupiah adalah Rp3.621 triliun," kata Thomas dalam Interview pada Energy Transition Summit Asia: Driving regional and global energy transformation, di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Menurut Thomas, langkah ini berbeda dengan pendekatan yang dilakukan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat yang memangkas anggaran untuk program transisi energi. Ia mengatakan di Indonesia, pemerintah memilih mengalihkan belanja ke sektor-sektor prioritas tanpa mengurangi nilai anggaran secara keseluruhan.
"Ini berbeda dengan yang terjadi di, mungkin, Amerika Serikat. Di Indonesia, kami tidak memotong anggaran," ujarnya.
Dorong Belanja untuk Transisi Energi
Thomas menjelaskan, salah satu prioritas utama dalam realokasi anggaran ini adalah sektor transisi energi. Pemerintah berkomitmen mengarahkan belanja negara untuk mendukung upaya mitigasi perubahan iklim melalui program-program ramah lingkungan.
"Yang dilakukan adalah realokasi untuk hal-hal yang dianggap lebih produktif oleh pemerintahan saat ini. Saya justru berargumen bahwa karena hal itu, anggaran untuk mendukung transisi energi justru bisa lebih besar," ujarnya.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, pemerintah juga telah mengembangkan instrumen pembiayaan hijau seperti green bond dan sukuk hijau untuk mendukung program transisi energi.