Liputan6.com, Jakarta Portofolio investasi milik Yayasan Gates merupakan cerminan dari perjalanan panjang Bill Gates sebagai tokoh teknologi dunia, sekaligus pengaruh kuat dari Warren Buffett yang merupakan sahabat dan salah satu investor paling disegani sepanjang masa.
Dengan kekayaan pribadi yang melampaui USD 100 miliar atau sekitar Rp 1.623 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD), Gates telah menunjukkan komitmen luar biasa pada filantropi. Sejak mendirikan Yayasan Gates pada tahun 2000, ia telah menyumbangkan lebih dari USD 60 miliar atau sekitar Rp 974,21 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) dari hartanya sendiri untuk mendukung program-program kemanusiaan di berbagai bidang, mulai dari kesehatan global hingga pendidikan.
Menariknya, sebagian besar sumbangan itu bersumber dari portofolio investasi pribadinya. Di dalamnya, terdapat kepemilikan saham yang signifikan di Microsoft perusahaan yang ia dirikan dan yang mengantarkannya ke puncak dunia teknologi.
Namun, Gates tak hanya terpaku pada satu sektor. Ia juga melakukan diversifikasi ke berbagai jenis investasi, dengan pendekatan yang sangat mirip dengan Buffett yaitu memilih perusahaan yang memiliki nilai jangka panjang, bukan sekadar tren sesaat.
Gaya investasinya mencerminkan kombinasi antara kepekaan bisnis dan tanggung jawab sosial. Gates dan Buffett sama-sama percaya bahwa kekayaan besar harus dikelola dengan bijak, dan salah satu wujudnya adalah dengan membangun portofolio yang terkonsentrasi namun kokoh.
Bahkan, sekitar dua pertiga dari total dana perwalian Yayasan Gates ditempatkan hanya pada tiga saham utama yang menandakan bahwa mereka lebih mengutamakan kualitas dibanding kuantitas.
1. Microsoft, Pilar Utama dalam Portofolio Gates
Sejak Yayasan Gates didirikan pada tahun 2000, Bill Gates mulai menyumbangkan saham Microsoft miliknya kepada yayasan tersebut. Donasi itu tidak berhenti di awal, Gates terus menambah kontribusinya dari waktu ke waktu.
Meskipun yayasan secara berkala menjual sebagian saham untuk membiayai program hibah, kepemilikan atas Microsoft tetap tumbuh signifikan. Hingga akhir kuartal pertama 2025, Yayasan Gates tercatat memiliki sekitar 28,5 juta lembar saham Microsoft dengan nilai melebihi USD 14 miliar atau sekitar Rp 227,31 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) per akhir Juni.
Nilai saham Microsoft melonjak ke titik tertinggi dalam sejarah dalam beberapa pekan terakhir, didorong oleh kekuatan perusahaan dalam pengembangan Artificial Intelligence (AI). Sejak menginvestasikan 10 miliar dolar ke OpenAI pada awal 2023, Microsoft menjadikan Azure yang merupakan platform komputasi awan miliknya sebagai tulang punggung bagi para pengembang yang ingin memanfaatkan teknologi AI terdepan.
Azure kini mencatat pertumbuhan tercepat di pasar, dengan peningkatan pendapatan sebesar 33% pada kuartal terakhir. Permintaan yang sangat tinggi membuat pasokan layanan Azure masih terbatas, dan manajemen optimistis tren pertumbuhan ini akan berlanjut dalam waktu yang cukup lama.
Keunggulan Microsoft juga terlihat dari kemampuannya mengintegrasikan teknologi AI ke dalam ekosistem perangkat lunaknya. Layanan Microsoft 365, misalnya, mencatat pertumbuhan pendapatan dua digit, didorong oleh penambahan jumlah pengguna serta peningkatan harga jual rata-rata.
Tak hanya itu, Microsoft telah mengembangkan asisten AI bernama Copilot untuk berbagai produk mulai dari GitHub hingga Dynamics 365 yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas pengguna. Melalui Copilot Studio, perusahaan juga memungkinkan pengguna menciptakan asisten AI yang dapat disesuaikan dengan data internal masing-masing bisnis.
Dampaknya, Microsoft mencatat pertumbuhan pendapatan yang solid serta peningkatan laba bersih berkat efisiensi margin yang lebih baik. Dengan Azure sebagai motor utama pertumbuhan, prospek jangka panjang perusahaan ini terlihat menjanjikan.
Saat ini, saham Microsoft diperdagangkan pada valuasi premium, dengan rasio harga terhadap laba (price-to-earnings ratio) ke depan sekitar 37. Meski terkesan mahal, potensi besar dari lini bisnis perangkat lunak dan komputasi awan menjadikan harga tersebut layak untuk dibayar oleh investor jangka panjang.
2. Berkshire Hathaway, Jejak Investasi Sang Sahabat
Warren Buffett bukan hanya sahabat lama Bill Gates, tetapi juga salah satu donatur terbesar Yayasan Gates. Sejak tahun 2006, Buffett telah menyumbangkan lebih dari USD 43 miliar atau sekitar Rp 698,12 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) ke yayasan tersebut. Sumbangan itu diberikan dalam bentuk saham Berkshire Hathaway Kelas B (BRK.B), yang sebelumnya diubah dari saham Kelas A yang merupakan saham dengan hak suara super untuk memastikan kontrol perusahaan tetap berada di tangannya.
Menariknya, Buffett juga memberlakukan satu syarat penting yaitu setiap tahun, Yayasan Gates harus menyalurkan hibah minimal sebesar jumlah sumbangan tahun itu ditambah 5% dari total aset yayasan. Meskipun memiliki kewajiban besar, yayasan ini tetap berhasil mempertahankan porsi saham yang signifikan di Berkshire Hathaway. Hingga akhir kuartal pertama 2025, yayasan tercatat memiliki 17,1 juta lembar saham, dengan nilai mencapai sekitar USD 8,3 miliar atau sekitar Rp 134,72 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD).
Berkshire Hathaway sendiri merupakan perusahaan induk raksasa yang menaungi berbagai bisnis lintas sektor dari asuransi, energi, hingga transportasi. Meskipun sebagian besar lini bisnisnya menunjukkan performa kuat, segmen asuransi sempat terpukul akibat bencana alam, seperti kebakaran hutan di California, yang menyebabkan hasil kuartalan sedikit mengecewakan.
Namun, kekuatan utama Berkshire tetap terletak pada portofolio investasinya yang sangat likuid. Hingga saat ini, perusahaan mengelola aset senilai sekitar 631,8 miliar dolar AS, sebagian besar berupa surat utang negara dan uang tunai. Buffett sendiri tengah mencari peluang pembelian saham yang sepadan dengan nilai fundamentalnya—tugas yang semakin menantang mengingat besarnya skala perusahaan ini.
Nilai saham Berkshire sempat mengalami tekanan sejak pengumuman resmi bahwa Buffett akan mundur dari posisi Chief Executive Officer (CEO) efektif mulai 1 Januari 2026. Saat ini, saham perusahaan diperdagangkan pada rasio harga terhadap nilai buku (price-to-book ratio) sebesar 1,6. Secara historis, angka ini tergolong mahal untuk standar Buffett, sehingga ia memilih tidak melakukan pembelian kembali saham dalam beberapa kuartal terakhir.
Meski demikian, Berkshire dinilai masih layak mendapatkan valuasi yang tinggi. Alasannya karena perusahaan ini tidak memiliki utang (tidak menggunakan dana asuransi untuk berinvestasi) dan memiliki cadangan kas yang sangat besar. Keduanya merupakan elemen penting yang mencerminkan kestabilan jangka panjang.
3. Waste Management, Investasi Bersih yang Bernilai Tinggi
Salah satu saham terbesar dalam portofolio Yayasan Gates adalah Waste Management (WM), perusahaan pengelolaan sampah terbesar di Amerika Serikat. Kepemilikan ini mencerminkan filosofi value investing yang diwarisi dari Warren Buffett yaitu mencari perusahaan yang stabil, memiliki keunggulan kompetitif, dan prospek jangka panjang yang kuat.
Sejak pertama kali membeli saham Waste Management pada tahun 2002, Yayasan Gates mempertahankan pendekatan beli dan tahan. Posisi ini terus bertumbuh nilainya selama bertahun-tahun, dengan hanya sedikit penjualan saham. Hingga akhir kuartal pertama 2025, yayasan memiliki sekitar 32,2 juta saham, yang bernilai sekitar USD 7,3 miliar atau sekitar Rp118,47 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) per tanggal 29 Juni 2025.
Apa yang membuat Waste Management begitu menarik? Jawabannya terletak pada keunggulan kompetitif yang sulit ditandingi. Perusahaan ini memiliki jaringan tempat pembuangan sampah terbesar di Amerika sebuah aset yang hampir mustahil untuk direplikasi karena ketatnya regulasi dan izin yang diperlukan. Akibatnya, banyak perusahaan pengangkut sampah kecil harus membayar untuk menggunakan fasilitas milik Waste Management.
Selain itu, skala operasional perusahaan memberikan keuntungan tambahan. Rute pengangkutan yang lebih padat memungkinkan efisiensi logistik yang lebih tinggi dan margin laba yang kuat. Dengan aliran kas yang stabil, perusahaan pun mampu mengembangkan bisnisnya melalui akuisisi.
Akuisisi terbaru adalah Stericycle, yang kini diintegrasikan sebagai WM Healthcare Solutions. Dalam Investor Day terakhir, manajemen mengungkapkan potensi sinergi biaya sebesar USD 250 juta atau sekitar Rp 4,06 triliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD), serta peluang penjualan silang (cross-selling) senilai USD 50 juta atau sekitar Rp 811,39 miliar (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) dari akuisisi tersebut.
Manajemen memproyeksikan pertumbuhan pendapatan sekitar 9% per tahun, dengan peningkatan EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) hingga tahun 2027. Aliran kas bebas yang dihasilkan dapat digunakan untuk memperkuat posisi perusahaan melalui akuisisi lanjutan, pembagian dividen yang konsisten, atau pembelian kembali saham.
Saat ini, valuasi Waste Management diperkirakan sekitar 15 kali EBITDA yang diharapkan selama 12 bulan ke depan, angka yang cukup menarik bagi investor yang mencari pertumbuhan dividen dan stabilitas jangka panjang. Di tengah dunia yang terus menghasilkan sampah, WM justru memanfaatkan peluang tersebut untuk menciptakan nilai.
Reporter: Linda Maulina Khairunnisa