Jumlah Pekerja Putus Asa Tembus 1,87 Juta, Sinyal Tekanan Serius di Pasar Kerja

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkap sinyal tekanan baru di pasar kerja Indonesia. Jumlah penduduk yang tidak bekerja dan tidak lagi mencari kerja karena putus asa melonjak dari 1,68 juta orang pada Februari 2024 menjadi sekitar 1,87 juta orang pada Februari 2025. Angka ini naik sekitar 11 persen dalam setahun.

Dikutip dari Labor Market Brief LPEM UI edisi November 2025, meski secara proporsi jumlahnya relatif kecil terhadap total penduduk usia kerja, kelompok yang disebut discouraged workers ini penting untuk diperhatikan. Dalam kerangka ILO, mereka masuk kategori labour underutilization—yaitu orang yang sebenarnya ingin bekerja, tetapi menyerah karena beragam hambatan, seperti minimnya peluang, keterampilan yang tidak sesuai, atau pengalaman kerja terbatas.

LPEM UI menilai lonjakan ini menunjukkan perubahan perilaku sebagian penduduk yang awalnya aktif mencari kerja, namun akhirnya memilih berhenti karena merasa pasar kerja tidak lagi memberikan harapan.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara berkembang, peningkatan kelompok putus asa menjadi tanda awal tekanan struktural yang sering tidak tercermin dalam angka pengangguran terbuka. Kondisi ini menggambarkan adanya masalah lebih dalam dalam penciptaan pekerjaan berkualitas.

LPEM UI menyebutkan, lonjakan pekerja putus asa konsisten dengan berbagai laporan lembaga internasional. Bank Dunia dalam laporan Pathways to Middle Class Jobs menyebut dua pertiga pekerjaan di Indonesia masih berada pada sektor berproduktivitas rendah. Mayoritas tenaga kerja pun hanya berpendidikan SMP atau lebih rendah.

Jika dibandingkan berbagai negara Asia yang telah sukses memperkuat basis manufaktur ekspor atau jasa modern, Indonesia tertinggal dalam penciptaan pekerjaan formal dengan produktivitas menengah. Akibatnya, pencarian kerja menjadi sangat kompetitif, terutama bagi mereka yang berpendidikan rendah, tidak memiliki pengalaman, atau minim keterampilan yang relevan.

Di sisi lain, sistem informasi pasar kerja dan layanan penempatan kerja dinilai masih lemah, membuat pencari kerja kesulitan mengetahui lowongan maupun keterampilan yang dibutuhkan. Kondisi ini membuat sebagian orang merasa upaya mencari kerja tidak realistis untuk dilanjutkan.

Menurut LPEM UI, naiknya jumlah penduduk putus asa tidak boleh dibaca sebagai fluktuasi biasa, melainkan gejala tekanan struktural di pasar tenaga kerja. Hambatan mencari kerja tidak lagi sekadar soal kurangnya lowongan, tetapi juga ketidakcocokan keterampilan, rendahnya kualitas pekerjaan, hingga persepsi diskriminasi usia.

Negara maju pun menghadapi fenomena serupa, meski dalam konteks berbeda. Di Uni Eropa, konsep labour market slack mencakup pengangguran, setengah menganggur, hingga pekerja yang tersedia namun tidak aktif mencari kerja—yang totalnya mencapai 11 persen dari angkatan kerja diperluas pada 2024.

“Kelompok ini penting bukan karena jumlahnya besar, tetapi karena mereka menunjukkan titik-titik kegagalan sistem pendidikan, pelatihan, dan layanan ketenagakerjaan dalam menyediakan jalur masuk yang kredibel ke pasar kerja,” tulis laporan LPEM UI.

Jika dibiarkan, keputusasaan ini berisiko memperlebar kesenjangan antara mereka yang mampu memanfaatkan peluang ekonomi baru dan mereka yang merasa pasar kerja tak lagi menawarkan masa depan.