Harga Minyak Dunia Kompak Lebih Murah

1 month ago 19

Liputan6.com, Jakarta Harga minyak turun pada hari Selasa (Rabu waktu Jakarta) karena para pedagang menilai meningkatnya pasokan minyak OPEC+ dan kekhawatiran melemahnya permintaan global, serta ancaman Presiden AS Donald Trump terhadap India atas pembelian minyak Rusia.

Dikutip dari CNBC, Rabu (6/8/2025), organisasi negara-negara pengekspor minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+, sepakat pada hari Minggu untuk meningkatkan produksi minyak sebesar 547.000 barel per hari untuk bulan September, sebuah langkah yang akan mengakhiri pemangkasan produksi terbarunya lebih awal dari yang direncanakan.

Harga minyak mentah Brent berjangka turun USD 1,12 atau 1,63% dan ditutup pada USD 67,64 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun USD 1,13 atau 1,7%, dan ditutup pada USD 65,16. Kedua patokan harga minyak tersebut turun lebih dari 1% pada hari Senin, mencapai level terendah dalam seminggu.

Pada hari Senin, Trump kembali mengancam tarif yang lebih tinggi atas barang-barang India atas pembelian minyak Rusia oleh negara itu. New Delhi menyebut serangannya “tidak dapat dibenarkan” dan berjanji untuk melindungi kepentingan ekonominya, yang memperdalam keretakan perdagangan antara kedua negara.

Pergerakan harga minyak yang terbatas sejak ancaman Trump menunjukkan bahwa para pedagang skeptis akan terjadinya gangguan pasokan. Ia mempertanyakan apakah Trump akan mengambil risiko harga minyak yang lebih tinggi.

“Saya menyebutnya pasar minyak yang stabil. Asumsikan hal ini kemungkinan akan berlanjut sampai kita mengetahui apa yang diumumkan presiden AS terkait Rusia akhir pekan ini dan bagaimana reaksi para pembeli tersebut," ungkap Analis di UBS Giovanni Staunovo.

India jadi Pembeli Minyak Terbesar Rusia

India adalah pembeli minyak mentah lintas laut terbesar dari Rusia, mengimpor sekitar 1,75 juta barel per hari dari Januari hingga Juni tahun ini, naik 1% dari tahun lalu, menurut data yang diberikan kepada Reuters oleh sumber perdagangan.

Ancaman Trump muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang permintaan minyak dan beberapa analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan melambat pada paruh kedua tahun ini.

JPMorgan mengatakan pada hari Selasa bahwa risiko resesi AS tinggi. Selain itu, rapat Politbiro Tiongkok pada bulan Juli mengisyaratkan tidak akan ada lagi pelonggaran kebijakan, dengan fokus beralih ke penyeimbangan struktural ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut, kata para analis. 

Gejolak Pasar Minyak: Produksi OPEC+ Naik, Harga WTI Dekati Level Kritis

Sebelumnya, harga minyak mentah global kembali melemah di awal pekan ini, melanjutkan tren penurunan selama tiga hari berturut-turut. Tekanan ini muncul setelah OPEC+ mengumumkan rencana peningkatan produksi secara besar-besaran mulai September 2025.

Analis Dupoin Futures Indonesia Andy Nugraha menjelaskan, keputusan OPEC+ menjadi pemicu utama pelemahan harga minyak.

“OPEC+, yang selama ini menahan produksi untuk menopang harga, kini berbalik arah dengan menambah pasokan hingga 547.000 barel per hari,” jelas Andy.

Langkah ini disebut sebagai strategi untuk merebut kembali pangsa pasar global yang sempat hilang, namun sekaligus memicu kekhawatiran akan potensi kelebihan pasokan dalam waktu dekat.

Pada perdagangan Senin (4/8/2025), harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok 1,5% ke posisi USD 66,29 per barel—penutupan terendah dalam sepekan terakhir. Sementara pada Selasa (5/8), harga relatif stabil di USD 66,27 per barel, turun tipis hanya 2 sen atau 0,03%, mencerminkan sikap pasar yang masih ragu-ragu.

Kecenderungan Bearish

Andy menjelaskan bahwa dari sisi teknikal, tren penurunan masih mendominasi.

“Kombinasi pola candlestick harian dan indikator Moving Average menunjukkan kecenderungan bearish yang semakin kuat. Jika tekanan jual berlanjut, harga WTI bisa turun mendekati support kritis di USD 65 per barel,” ujarnya.

Namun jika terjadi koreksi teknikal atau aksi beli jangka pendek, harga berpotensi rebound ke level resistance USD 67.

Selain kebijakan suplai, situasi geopolitik juga turut memengaruhi pasar. Pemerintahan Presiden Donald Trump di AS meningkatkan tekanan terhadap India agar menghentikan impor minyak dari Rusia.

Bahkan, Washington mengancam akan mengenakan tarif sekunder hingga 100%, setelah sebelumnya menerapkan tarif 25% atas produk India pada Juli.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |