Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XII DPR RI, Dewi Yustisiana menegaskan pentingnya pendekatan konstitusional dalam kebijakan energi nasional untuk memastikan keadilan sosial dan kedaulatan negara.
Prinsip pengelolaan energi nasional perlu kembali diletakkan pada fondasi konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep “energi konstitusi” menegaskan bahwa energi bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan hak rakyat dan instrumen keadilan sosial yang harus dijamin oleh negara.
Dewi mengapresiasi pendekatan ideologis yang diusung Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam memandang sektor energi. Ia menilai Bahlil tidak terjebak pada aspek teknis semata, tetapi berani menempatkan energi dalam kerangka yang lebih fundamental, yaitu sebagai bagian dari cita-cita bernegara.
“Menteri ESDM membawa cara pandang yang lebih dalam - lebih ideologis - dalam merumuskan kebijakan energi. Beliau kerap menekankan pentingnya perspektif konstitusi dan keadilan dalam menganalisa dan memutuskan arah kebijakan energi nasional,” ujar Dewi.
Pendekatan tersebut dinilai senafas dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang juga mengedepankan cara pandang ideologis dalam pembangunan nasional. Energi bukan hanya soal pasokan atau harga, tetapi tentang kedaulatan, keberlanjutan, dan pemerataan.
“Dengan pendekatan seperti ini, target-target bidang energi yang dicanangkan ke depan tidak hanya bersifat teknokratis. Ia menyentuh akar dari kenapa negara ini didirikan—yakni menghadirkan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat,” tegasnya.
Swasembada Energi
Dewi juga menambahkan bahwa swasembada energi harus menjadi misi utama dalam kebijakan energi nasional. “Kita tidak bisa terus bergantung pada impor. Swasembada energi adalah jalan kebangkitan Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, kemandirian energi bukan hanya solusi jangka pendek, tetapi juga merupakan jembatan strategis menuju visi Indonesia Emas 2045. “Kalau kita ingin jadi negara maju di 2045, maka kita harus berdiri di atas fondasi energi yang mandiri, adil, dan berdaulat,” pungkasnya.
Dengan menempatkan energi dalam kerangka konstitusi, Indonesia tidak hanya memperkuat kedaulatan energi, tetapi juga memastikan bahwa energi menjadi kekuatan strategis untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
RUPTL 2025-2034 jadi Komitmen Nyata Indonesia Hadapi Perubahan Iklim
Sebelumnya, Anggota Komisi XII DPR RI, Christiany Eugenia Paruntu, menyampaikan apresiasi atas peluncuran Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional 2025–2034 yang diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Menurutnya, RUPTL ini merupakan pijakan penting dalam mendorong transisi energi nasional menuju sumber energi yang bersih, berkeadilan, dan berkelanjutan.
“RUPTL ini mencerminkan optimisme sekaligus komitmen serius pemerintah dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Ini bukan hanya soal pembangunan pembangkit, tetapi juga menyangkut arah masa depan energi nasional," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu (28/5/2025).
Ia menilai bahwa RUPTL 2025–2034 bukan sekadar dokumen teknokratis, melainkan agenda kebangsaan yang menekankan prinsip keadilan energi bagi seluruh masyarakat Indonesia — dari pusat kota hingga wilayah terpencil.
“Transisi energi tidak boleh hanya dinikmati kelompok tertentu. RUPTL ini menunjukkan bahwa pemerintah serius memastikan akses listrik yang merata dari kota besar hingga pelosok desa,” ujarnya.
Christiany juga menekankan bahwa upaya transisi energi ke depan harus inklusif dan berpihak pada kelompok rentan. “Transisi energi ke depan harus memperhatikan kelompok marginal dan juga perempuan. Keadilan energi juga berarti membuka akses, kesempatan kerja, dan manfaat yang setara bagi semua warga,” kata legislator daerah pemilihan Sulawesi Utara itu.
Lebih lanjut, ia berharap pelaksanaan RUPTL tetap menghadirkan energi yang terjangkau. “Rencana ini harus tetap menjaga keterjangkauan energi. Masyarakat tidak boleh terbebani oleh lonjakan biaya. Energi bersih harus hadir tanpa mengorbankan hak dasar rakyat atas akses yang adil dan terjangkau,” tegas politisi Partai Golkar tersebut.
Proyek Pembangkit EBT
Christiany mendorong agar proyek-proyek pembangkit EBT dan infrastruktur kelistrikan dalam RUPTL melibatkan pemerintah daerah, pelaku usaha lokal, dan tenaga kerja setempat. Ia juga menegaskan bahwa DPR akan menjalankan fungsi pengawasan secara aktif agar pelaksanaan RUPTL sejalan dengan prinsip keberlanjutan, efisiensi, dan tata kelola yang baik.
“Kami di Komisi XII DPR RI mendorong agar implementasi RUPTL juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jangan sampai transisi energi hanya berputar di level pusat. Komisi XII akan menjalankan fungsi pengawasan secara aktif untuk memastikan pelaksanaan RUPTL benar-benar membawa dampak positif bagi masyarakat,” tutupnya.
RUPTL 2025–2034 menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, dengan 76 persen berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Porsi ini mencakup pembangkit tenaga surya (17,1 GW), air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), dan nuklir (0,5 GW). Selain itu, pengembangan sistem penyimpanan energi seperti battery storage dan pumped storage juga dialokasikan sebesar 10,3 GW.