Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah menyiapkan regulasi baru yang mewajibkan platform e-commerce untuk memungut dan menyetorkan pajak dari pendapatan para penjual yang bertransaksi di platform mereka.
Regulasi baru ini diperkirakan akan berdampak langsung pada sejumlah platform besar seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, dan Bukalapak.
Namun, seberapa besar urgensi kebijakan tersebut terhadap penerimaan pajak dan perekonomian nasional?
Direktur Ekonomi Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menilai bahwa pungutan pajak terhadap penjual di platform e-commerce merupakan kebijakan yang dapat diberlakukan terhadap pengusaha dengan omzet tinggi.
“Kebijakan ini memang baiknya mengikat ke pengusaha, baik jualan online ataupun offline. Jika penjual tersebut omzet-nya Rp1 miliar, masa tidak dipajakin? Harusnya dipajakin juga,” ungkap Huda kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
“(Merupakan) langkah yang bagus dari pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang sama antara penjual online dan offline. Sehingga terjadi level of playing field yang sama dari sisi kesamaan regulasi antara penjual di toko online dan offline.
Huda menyoroti bahwa kebijakan pungutan pajak merupakan bagian dari aturan untuk pengusaha UMKM dengan omzet tahunan Rp500juta-Rp4.8 miliar untuk membayar pajak sebesar 0.5 persen dari omzet mereka.
Diperkirakan Tak Berdampak Signifikan ke Harga Jual Barang
“Walaupun kebijakan ini juga pasti akan ditolak oleh penjual karena mereka harus menaikkan harga jual produknya. Tapi saya rasa pajak PPh Final 0.5 persen tidak akan signifikan dampak ke harga jual barang,” jelas Huda.
Huda lebih lanjut menegaskan, penting untuk diketahui bahwa pajak merupakan sebuah kebijakan yang perlu dijalankan oleh penjual ketika penjualan mereka sudah masuk dalam kategori pengusaha kena pajak final.
“Namun demikian, pasti ada sebagian dari penjual di lapak ecommerce yang sudah taat membayar pajak bahkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP),” tuturnya.
“Kewajiban ini dikhususkan untuk pelapak yang belum terdaftar sebagai PKP dan mempunyai omzet Rp500 juta hingga Rp4.8 miliar per tahun. Maka, harus ada integrasi data dulu, jangan sampai ada pelapak yang sudah taat pajak tapi dipotong pajak lagi,” imbuhnya.
Ini Kriteria Penjual di E-Commerce yang Kena Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara soal rencana pungutan pajak penghasilan (PPh) 22 pedagang di niaga elektronik (e-commerce).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli dalam keterangannya di Jakarta, Kamis menjelaskan, rencana penunjukan lokapasar (marketplace) sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting).
Bila sebelumnya mekanisme pembayaran PPh dilakukan secara mandiri oleh pedagang daring (online), diubah menjadi sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh lokapasar sebagai pihak yang ditunjuk.
“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan, karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata Rosmauli.
Lantas siapa saja pedagang online yang bakal dipungut pajak?
Dia pun menegaskan yang menjadi sasaran aturan baru ini merupakan pedagang daring yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Artinya, UMKM di platform lokapasar yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenakan pungutan PPh dalam skema ini, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kemudahan Administrasi
Menurut dia, inisiatif pemerintah menyusun skema ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.
Ketentuan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi atau shadow economy, khususnya dari pedagang daring yang kurang memahami atau enggan menghadapi proses administratif perpajakan yang dianggap rumit.
“Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” ujar Rosmauli.