Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi atau kerap disapa Kang Dedi Mulyadi (KDM), menyoroti lonjakan peredaran rokok ilegal, yang ia duga menjadi imbas dari kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT).
Kenaikan tarif cukai ini dinilai mendorong harga rokok legal melambung. Sehingga sebagian konsumen beralih ke produk tanpa pita cukai atau rokok ilegal.
Dedi Mulyadi mengungkapkan, wilayahnya mengalami peningkatan signifikan dalam peredaran rokok ilegal, yang berdampak pada penurunan penerimaan negara dari sektor cukai. "Kenapa rokok ilegal marak? Karena cukai rokoknya mahal," ucapnya.
Ia menilai bahwa kebijakan kenaikan tarif CHT belum efektif menekan konsumsi rokok. KDM pun mendorong pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali pendekatan kebijakan kenaikan tarif cukai ini.
Dari sisi akademisi, Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Kun Haribowo, menegaskan bahwa tingginya tarif cukai justru membuka celah bagi pasar rokok ilegal untuk tumbuh subur di masyarakat.
"Karena daya beli menyesuaikan, dengan membeli rokok dengan harga yang terjangkau. Rokok ilegal akan mengisi pasar itu," ungkapnya, Jumat (30/5/2025).
Ia juga menyoroti, kenaikan tarif CHT tidak serta merta menjamin peningkatan penerimaan negara.
Diklaim Tak Optimal Dongkrak Penerimaan Negara
"Kebijakan tarif rokok saat ini kurang optimal, baik sebagai instrumen untuk menurunkan jumlah perokok maupun untuk meningkatkan penerimaan negara," dia menegaskan.
Kun menekankan perlunya reformulasi struktur tarif cukai agar lebih tepat sasaran. Menurut dia, untuk mengoptimalkan penerimaan CHT dan mengurangi konsumsi rokok, perlu dilakukan reformulasi atau perubahan struktur tarif cukai rokok di Indonesia.
"Cukai rokok yang tepat harus mampu meningkatkan penerimaan negara sekaligus menurunkan jumlah perokok di Indonesia," ujar Kun.
Pentingnya Pendekatan Moderat
Senada, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun dalam rapat kerja bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, menekankan pentingnya pendekatan moderat dalam penyesuaian tarif cukai hasil tembakau.
Sehingga, tetap dapat mengoptimalkan penerimaan negara tanpa menimbulkan tekanan berlebih terhadap industri hasil tembakau. Saat ini, ia menyebut pabrik rokok legal dinilai mengalami kontraksi yang luar biasa.
"Nah, (terjadi) kontraksi luar biasa, (di mana) produksinya menurun, tetapi di pasar tembakau ini habis," ungkap Misbakhun.
Penindakan Rokok Ilegal oleh Bea Cukai Masih Tinggi
Melansir data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu, penindakan terhadap rokok ilegal masih tinggi. Pada 2024, tercatat 20.000 kasus penindakan, sementara pada 2023 dan 2022 masing-masing mencapai 22.000 kasus. Total, lebih dari 752 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan.
Sementara pada kuartal I 2025, DJBC telah melakukan 2.928 penindakan, dengan total 257,27 juta batang rokok ilegal disita. Nilai ekonominya mencapai Rp 367,6 miliar hanya dalam tiga bulan pertama tahun ini.