Belajar Menyelamatkan Bumi dari Kearifan Masyarakat Adat Togong Tanga

7 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Suara alat musik tradisional gong dan gendang saut menyambut memecah keheningan Dusun Kokolomboi siang itu. Di bawah langit yang mendung dan rintik hujan, tiga perempuan dengan penuh semangat menari mengikuti irama. Gerakannya lincah, energik, dan penuh semangat—simbol identitas serta keberanian masyarakat adat Togong Tanga. Semua mata terpaku menyaksikan Tari Balatindak, tarian tradisional yang merupakan warisan leluhur mereka sebagai ungkapan penghormatan dan sambutan hangat kepada tamu yang hadir. Yermin Yenggolo, Ketua Masyarakat Adat Togong Tanga, dengan bangga menyampaikan salam khasnya. Dari sambutan yang penuh makna itu, saya yakin bahwa dua hari berada di desa ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan.

Dusun Kokolomboi terletak di Desa Leme Leme Darat, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Jarak dari pusat pemerintahan desa sekitar 4 km, 120 km dari pusat Kabupaten Banggai Kepulauan, dan 674 km dari pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis, desa ini berada di Pulau Peleng bagian barat, hanya 2 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, Dusun Kokolomboi sendiri berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Luas keseluruhan desa sekitar 600 hektar, dengan area pemukiman seluas 8,5 hektar.

Perjalanan menuju lokasi ini cukup menantang dan penuh petualangan. Dari Jakarta, kami terbang ke Luwuk, Kabupaten Banggai, dengan transit di Makassar yang memakan waktu sekitar 5 jam. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan speedboat selama 1,5 jam, diikuti perjalanan 20 menit dengan mobil four wheel drive yang mampu menaklukkan medan menanjak berbatu dan berlumpur. Meski menantang, perjalanan ini sepadan dengan pemandangan indah yang menyambut mata di sepanjang perjalanan: hamparan laut biru yang kontras dengan hijaunya hutan, ditambah udara sejuk yang menyentuh kulit. Semangat membuncah membayangkan petualangan dua hari ke depan.

Selama dua hari, tepatnya Senin dan Selasa (21-22/4), kami mengikuti kegiatan Fun Camping yang digelar Pertamina EP Donggi Matindok Field sebagai bagian dari perayaan keberhasilan meraih PROPER Emas—penghargaan tertinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas komitmen perusahaan dalam pelestarian lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah desa, masyarakat dusun, pemerintahan kabupaten, hingga lembaga pendidikan setempat. Sebanyak 30 siswa turut meramaikan suasana dan merasakan langsung pengalaman berkemah.

Menghidupkan Kearifan Lokal

Program Kokolomboi Lestari adalah bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat adat Togong Tanga untuk mencegah deforestasi. Data Pemerintah Desa menunjukkan bahwa 15,05% dari penduduk desa ini masih termasuk kategori pra-sejahtera, mereka bergantung pada kegiatan pertanian ladang berpindah, berburu satwa, serta melakukan penebangan ilegal dan perambahan hutan. Alih fungsi hutan juga terjadi untuk membuka lahan perkebunan, permukiman, dan pembangunan jalan. Eksploitasi berlebihan oleh oknum tertentu, termasuk pengambilan kayu, rotan, serta perburuan satwa, semakin memperparah kondisi kerusakan lingkungan. Data dari Pemerintah Kabupaten Bangkep menunjukkan bahwa sekitar 144,86 hektar lahan di kawasan hutan dalam kondisi kritis.

Dalam upaya pemulihan, dilakukan berbagai langkah, seperti pemantauan berbasis komunitas, pengembangan hutan adat, festival tradisional berskala internasional, serta pengembangan ekowisata. Masyarakat Togong Tanga kembali menghidupkan kearifan lokal mereka, seperti sistem Tamakonya, sebuah ritual adat sebelum menebang pohon. Mereka juga berperan sebagai penjaga hutan, bahkan menjadi perpustakaan hidup yang memahami setiap spesies di kawasan Kokolomboi.

“Saat ini kami belajar lagi memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Kami menghidupkan kembali cara nenek moyang menjaga keseimbangan dengan alam,” ujar Yermin.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah pengembangan kegiatan ekonomi berbasis keberlanjutan, seperti budidaya lebah madu dan pengembangan wisata minat khusus. Budidaya lebah ini menjadi salah satu langkah rehabilitasi kawasan hutan, mengingat peran penting lebah sebagai pollinator yang membantu penyerbukan tanaman di sekitar kawasan. Selain itu, kegiatan ini juga menjadi sumber penghasilan baru bagi masyarakat, setelah sebelumnya bergantung pada penebangan kayu dan berburu satwa.

Saat ini, sekitar 10 petani madu di kawasan Taman Kehati Kokolomboi aktif memanen hingga 800–1.200 liter madu per tahun. Kelompok tani madu Kokolomboi bahkan melibatkan petani dari luar kawasan untuk memenuhi permintaan pasar yang terus berkembang. Hingga kini, sebanyak 245 anggota kelompok telah bergabung, dengan kapasitas produksi mencapai sekitar 8.400 liter madu per tahun.

“Kami kini memiliki pusat belajar yang baru, dinamakan Bonua Tuboan, Bonua Pobean, dan Bonua Mandialang—yang berarti ‘cahaya yang memberi kehidupan’. Di sini, kami belajar menggabungkan ilmu modern dengan kearifan lokal, memupuk masa depan tanpa melupakan akar budaya,” ujar Yermin.

Pembangunan Berkelanjutan

Selain pengembangan ekonomi, pengelola Taman Kehati Kokolomboi juga mencatat sebanyak 453 wisatawan domestik dan lebih dari 60 wisatawan mancanegara dari 22 negara yang mengunjungi kawasan ini. Mereka berkontribusi secara langsung terhadap perekonomian masyarakat sekitar sebagai penyedia jasa lingkungan, dengan tarif sekitar Rp 60.000 per orang untuk wisatawan domestik dan Rp 200.000 per orang untuk wisatawan asing per hari.

“Masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional dan praktik berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam mereka. Sayangnya, peran mereka seringkali terpinggirkan. Padahal, mereka adalah perpustakaan hidup yang sejatinya menjaga dan melindungi ekosistem mereka. Mereka menjadi bukti bahwa keberadaan mereka sangat penting dalam upaya konservasi, terutama dalam mengatasi illegal logging,” ujar Ridwan Kiay Demak, Field Manager PEP DMF.

Kontribusi masyarakat adat Togong-Tanga ini turut mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama Goal 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim melalui kegiatan adaptasi dan mitigasi, serta Goal 15 tentang Ekosistem Daratan yang menekankan perlindungan, restorasi, dan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem. Mereka berperan dalam mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan degradasi lahan, dan melindungi keanekaragaman hayati.

“Hari Bumi diperingati setiap tahun sebagai pengingat akan pentingnya menjaga lingkungan dan memperingatkan bahaya kerusakan ekologis seperti deforestasi, polusi, dan perubahan iklim. Hari ini menjadi momen untuk menghargai kontribusi masyarakat adat dalam pelestarian alam dan menegaskan perlunya mendukung hak-hak mereka,” tambah Ridwan.

Interaksi Tulus

Dua hari di Kokolomboi memberikan pengalaman yang sangat berharga. Jiwa kami dipuaskan oleh ketenangan dan keindahan alam, serta interaksi tulus tanpa distraksi gawai. Kami pulang dengan pengetahuan dan semangat baru, belajar dari sosok inspiratif seperti Bu Yermin dan masyarakat adat Togong Tanga yang hidup dalam kesederhanaan, selaras dengan alam. Mereka saling melindungi dan mencukupi tanpa menyakiti lingkungan maupun sesama.

“Soosa, ko tinoli, yaku akhiriomo, ko ko mian bisa, loilanginge, ko mai tubuan.” (Salam, salam. Saya akhiri dengan nama Tuhan yang menyertai kehidupan kami). Untukmu, alam, tukon (dan) lingkungan serta manusia,” ujar Yermin mengakhiri percakapan penuh makna.

Selamat tinggal, Kokolomboi. Mungkin namamu tak begitu dikenal, tapi aksi nyata dan keberadaanmu sungguh dirasakan bumi. Selamat Hari Bumi!

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |