AstraZeneca Bakal Investasi Rp 815,69 Triliun di AS

10 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - AstraZeneca akan investasi USD 50 miliar atau Rp 815,69 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.314) untuk memperkuat kemampuan manufaktur dan riset di Amerika Serikat (AS) pada 2030. Hal ini menjadikannya perusahaan farmasi terbaru yang meningkatkan belanja di dalam negerinya menyusul tarif perdagangan AS.

Mengutip CNBC, Selasa (22/7/2025), perusahaan bioteknologi Inggris-Swedia yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris mengatakan "landasan” dari komitmen itu adalah fasilitas baru bernilai miliaran dolar AS untuk memproduksi portofolio produk berat badan termasuk pil obesitas GLP-1.

Fasilitas yang direncanakan untuk dibangun di Persemakmuran Virginia akan menjadi investasi manufaktur tunggal terbesar AstraZeneca di dunia dan akan memanfaatkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan otomatisasi dan analisis data untuk mengoptimalkan produksi.

AstraZeneca mengatakan, pendanaan terbaru ini juga akan memperluas penelitian dan pengembangan serta manufaktur terapi sel di Maryland, Masscahusetts, California, Indiana dan Texas dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja.

CEO Pascal Soriot menuturkan, komitmen itu memperkuat keyakinan perusahaan terhadap inovasi biofarmasi Amerika Serikat dan akan mendukung ambisinya untuk mencapai pendapatan tahunan sebesar USD 80 miliar pada 2030 yang setengahnya diperkirakan berasal dari AS.

AstraZeneca yang menjadi berita utama internasional dengan mengembangkan salah satu vaksin COVID-19 telah lama memprioritaskan pasar AS. Amerika Serikat menyumbang lebih dari 40% pendapatan tahunan perusahaan pada 2024.

Pada November tak lama setelah pemilihan Presiden AS, AstraZeneca mengumumkan investasi AS sebesar USD 3,5 miliar atau Rp 57,08 triliun. Awal bulan ini, the Times melaporkan perusahaan tersebut mungkin akan memindahkan pencatatan sahamnya dari London ke AS yang menurut analis akan menjadi pukulan telak bagi pasar saham Inggris.

AstraZeneca adalah perusahaan paling berharga yang tercatat di FTSE 100 London. Perseroan menolak berkomentar mengenai laporan Times tersebut.

Perusahaan Farmasi Dongkrak Belanja di AS

Pengumuman pendanaan AstraZeneca mengikuti langkah serupa yang dilakukan oleh perusahaan farmasi global, termasuk Novartis, Sanofi dan Roche serta Eli Lily dan Johnson&Johnson yang berkantor pusat di Amerika Serikat (AS).

Perusahaan farmasi itu telah berjanji selama beberapa bulan terakhir untuk meningkatkan investasi mereka di AS di tengah tuntutan Presiden AS Donald Trump untuk memulangkan manufaktur domestik.

Industri ini sedang menanti kejelasan lebih lanjut tentang tarif farmasi pemerintahan Trump dengan hasil investigasi Pasal 232 terhadap sektor tersebut akan dirilis pada akhir bulan ini.

Upaya untuk menyeimbangkan kembali harga obat di AS dengan harga yang dibayarkan oleh negara lain juga sedang berlangsung.

Awal bulan ini, Trump mengatakan, industri ini dapat menghadapi pungutan hingga 200% dengan masa tenggang singkat 12-18 bulan untuk memungkinkan perusahaan merelokasi manufaktur ke dalam negeri. Namun, banyak perusahaan dan analisis menilai jangka waktu tersebut tidak memadai.

“Biasanya untuk sebagian besar obat, jangka waktunya tiga hingga empat tahun. Kami bekerja sangat keras untuk mempercepatnya secepat mungkin dan menunjukkan kami telah melakukan investasi yang telah direncanakan,” ujar CEO Novartis, Vas Narasimhan.

Ia berharap pemerintah AS akan memberikan kelonggaran.

Ekspor Jepang Menurun Imbas Tarif dan Ketegangan Dagang

Sebelumnya, ekspor Jepang kembali mencatat penurunan pada Juni, turun 0,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ini menjadi penurunan dua bulan berturut-turut setelah melemah 1,7 persen pada Mei,  yang mencerminkan terus turunnya permintaan global terhadap produk Jepang.

Hasil ini berbanding terbalik dengan perkiraan sejumlah ekonom yang disurvei Reuters, yang sebelumnya memproyeksikan ekspor akan tumbuh 0,5 persen. Penurunan ini juga terjadi di tengah stagnasi dalam pembicaraan perdagangan antara Jepang dan Amerika Serikat (AS), yang turut menambah tekanan pada kinerja ekspor Negeri Sakura. Dilansir dari CNBC. Kamis (17/7/2025).

Ekspor Jepang ke China yang merupakan mitra dagang terbesarnya turun 4,7 persen secara tahunan pada Juni. Sementara itu, pengiriman ke Amerika Serikat anjlok lebih dalam, mencapai penurunan 11,4 persen, lebih parah dibanding penurunan 11 persen pada Mei lalu.

Pelemahan ekspor ini terjadi di tengah ketegangan perdagangan yang kian meningkat. Mulai 1 Agustus, Jepang akan menghadapi tarif balasan dari Amerika Serikat sebesar 25 persen, sedikit lebih tinggi dari pengumuman awal sebesar 24 persen yang disampaikan pada peringatan "Hari Pembebasan".

Presiden AS Donald Trump, dalam pernyataannya pada Rabu, menegaskan kembali tarif tersebut akan diberlakukan terhadap produk impor dari Jepang. Ia juga menyatakan pesimistis akan tercapainya kesepakatan dagang yang lebih luas dengan Jepang dalam waktu dekat.

Marcel Thieliant, Kepala Asia-Pasifik di Capital Economics, mencatat bahwa penurunan ekspor Jepang ke Amerika Serikat sebesar 11,4 persen merupakan yang paling tajam sejak awal pandemi Covid-19 pada 2020.

Tekanan Tarif Mulai Terasa

Ekspor termasuk barang dan jasa merupakan komponen penting dalam perekonomian Jepang. Menurut data terbaru Bank Dunia, ekspor menyumbang hampir 22 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang pada 2023.

Sejak 3 April, mobil buatan Jepang yang diimpor ke Amerika Serikat dikenakan tarif sebesar 25 persen. Padahal, ekspor mobil ke AS merupakan tulang punggung ekonomi Jepang karena mencakup 28,3 persen dari total ekspor sepanjang 2024, menurut data bea cukai.

Namun, tekanan tarif mulai terasa. Data Kementerian Perdagangan mencatat ekspor kendaraan bermotor Jepang termasuk mobil, bus, dan truk ke AS turun 26,7 persen pada Juni, melanjutkan penurunan sebesar 24,7 persen pada Mei.

Marcel Thieliant dari Capital Economics menilai para produsen tampaknya memilih strategi pemotongan harga demi menjaga pangsa pasar. Akibatnya, meski volume ekspor mobil ke AS justru naik 4,6 persen secara tahunan, nilai ekspornya turun tajam 25,3 persen dibanding tahun lalu.

“Sebagian dari hal itu hanya mencerminkan penguatan yen karena ekspor ke AS biasanya ditagih dalam dolar. Tetapi sebagian besar disebabkan oleh pemotongan harga, dengan produsen mobil tampaknya menyerap hampir semua tarif AS sebesar 25 persen yang diberlakukan Trump pada bulan April dalam margin keuntungan mereka,” tegasnya.

Berpotensi Masuk Resesi

Analis menuturkan, mengatakan kepada CNBC tarif tambahan dari Amerika Serikat berpotensi mendorong Jepang masuk ke jurang resesi, mengingat tingginya ketergantungan negara tersebut pada sektor ekspor.

Pada kuartal pertama tahun ini, ekonomi Jepang sudah mengalami kontraksi dibandingkan kuartal sebelumnya akibat lemahnya ekspor. Jika kontraksi kembali terjadi pada kuartal berikutnya, Jepang secara teknis akan masuk ke dalam resesi yakni dua kuartal berturut-turut pertumbuhan negatif.

Negosiator utama Jepang, Ryosei Akazawa, pada 8 Juli menegaskan setiap kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat harus mencakup konsesi di sektor otomotif bagi Jepang. Ia juga menolak seluruh tenggat waktu yang diajukan, termasuk batas waktu 1 Agustus dari pihak AS, dan menekankan bahwa Jepang tidak akan mengorbankan sektor pertaniannya demi mencapai kesepakatan awal.

Ketegangan memuncak setelah Presiden AS Donald Trump pada 1 Juli menyerang Jepang melalui platform Truth Social. Ia menyebut bahwa Jepang “tidak akan mengambil BERAS kita”, meski negara tersebut tengah menghadapi kekurangan pasokan beras.

Faktanya, sepanjang 2024, Jepang telah mengimpor lebih dari 350.000 ton beras dari Amerika Serikat, menjadikan AS sebagai pengekspor beras terbesar ke Jepang pada tahun tersebut.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |