Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan kebijakan relaksasi impor yang sempat diterapkan pemerintah membawa konsekuensi besar terhadap industri dalam negeri, khususnya sektor manufaktur.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, menyebut sebanyak dua juta buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan tersebut.
"Kami dari Kementerian Perindustrian tidak menafikkan bahwa PHK masih terjadi pada industri manufaktur," kata Febri saat ditemui di Kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Ia menegaskan pihak kementerian tidak menyangkal adanya lonjakan PHK di sektor industri padat karya.
"PHK yang terjadi saat ini, itu disebabkan karena risiko dari kebijakan relaksasi impor yang saat ini masih dirasakan dampaknya oleh industri padat karya," ujarnya.
Menurut data Kemenperin, periode Agustus 2024 hingga Februari 2025 menjadi masa paling berat, dengan sekitar dua juta pekerja manufaktur kehilangan pekerjaan. Hal ini menunjukkan skala dampak kebijakan impor yang tak bisa dianggap sepele.
"Kami sekali lagi menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena ekses dari kebijakan relaksasi impor yang membuat pasar domestik banjir produk impor murah," ungkap Febri.
Revisi Regulasi
Febri mengatakan meski revisi regulasi tengah disiapkan, tantangan yang dihadapi industri manufaktur belum akan reda dalam waktu dekat.
Febri memperkirakan tren PHK masih akan berlanjut hingga peraturan baru benar-benar efektif diterapkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa transisi dari kebijakan lama ke kebijakan baru tidak serta-merta menyelesaikan persoalan.
"Sehingga menekan demand industri, terutama industri padat karya yang pada akhirnya memicu terjadinya pengurangan kerja. Dan kalau lihat angka tadi hampir sekitar 2 juta itu risiko yang kita tanggung dari pengurangan kebijakan relaksasi impor," ujarnya.
Gelombang PHK akan terus Berlanjut
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengungkapkan kekhawatirannya terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meluas.
Dalam survei terbaru yang dilakukan Apindo, lebih dari 50 persen responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan sebagian lainnya masih berencana melakukan hal yang sama dalam waktu dekat.
"Dalam survei APINDO yang baru saja kami lakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja, dan masih akan terus melakukan hal ini,” kata Shinta dalam acara BPJS Ketenagakerjaan: Dewas Menyapa Indonesia, Senin (28/7/2025).