Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dijadwalkan akan melakukan kunjungan resmi ke kantor Federal Reserve (The Fed) pada Kamis sore waktu setempat. Langkah ini diumumkan langsung oleh Gedung Putih dan menandai eskalasi baru dalam kampanye tekanan Trump terhadap Ketua Fed, Jerome Powell.
Mengutip CNBC, Kamis (24/7/2025), kunjungan ini bukan hanya sekadar agenda biasa. Ini adalah kunjungan resmi pertama oleh seorang presiden AS ke bank sentral dalam hampir 20 tahun—sebuah tindakan yang cukup langka dan sarat makna politik.
Selama ini, Presiden AS umumnya menjaga jarak dari The Fed untuk menghormati independensi lembaga tersebut. Federal Reserve memang didesain agar bebas dari pengaruh politik, baik secara hukum maupun praktiknya, demi menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan pasar.
Namun, Trump sepertinya siap menggoyang tradisi itu. Ia sudah lama dikenal vokal mengkritik Powell, terutama karena sang ketua dianggap enggan menurunkan suku bunga meski Trump menginginkannya. Kini, dengan mendatangi langsung kantor The Fed, Trump membawa tekanan politik itu ke level baru—langsung ke jantung institusi yang selama ini dianggap netral.
Dalam jadwal resmi yang dirilis Gedung Putih pada Rabu, disebutkan bahwa kunjungan ke Federal Reserve akan dilakukan pada pukul 16.00 waktu ET, Kamis.
Langkah ini mempertegas dinamika yang tak biasa antara Gedung Putih dan The Fed—dan bisa saja berdampak pada arah kebijakan moneter ke depan.
Ketua Dewan Fannie Mae Desak Ketua Fed Jerome Powell Mundur: Langkah Terbaik bagi Ekonomi AS
Diberitakan sebelumnya, desakan agar Jerome Powell mundur dari jabatannya sebagai Ketua The Federal Reserve (The Fed) semakin menguat. Kali ini, kritik tajam datang dari William Pulte, Kepala Badan Keuangan Perumahan Federal sekaligus Ketua Dewan Fannie Mae dan Freddie Mac—dua institusi keuangan penting di pasar perumahan AS.
Dikutip dari USA Today, Sabtu (12/7/2025), dalam pernyataan publik pada 11 Juli, Pulte menyebut bahwa pengunduran diri Powell akan menjadi "keputusan yang tepat bagi Amerika" dan bisa membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Ia juga mengutip adanya laporan bahwa Powell tengah mempertimbangkan langkah untuk mundur, meski hingga kini The Fed menolak memberikan komentar dan hanya merujuk pada komitmen Powell untuk menyelesaikan masa jabatannya hingga Mei 2026.
Pernyataan Pulte datang di tengah ketidakpuasan yang terus membesar terhadap kepemimpinan Powell, terutama dari kalangan pemerintahan Presiden Donald Trump.
Sebelumnya, Trump—yang ironisnya adalah pihak yang menunjuk Powell sebagai Ketua The Fed pada 2017—berulangkali menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan suku bunga yang menurutnya terlalu lambat dan tidak pro-pertumbuhan.
Trump bahkan menyebut Powell sebagai "orang bodoh" dan mengaku telah menyemprot Ketua The Fed dengan "semua nama jelek" dalam upaya menekan bank sentral agar segera menurunkan suku bunga dari kisaran saat ini 4,25%-4,5% menjadi 2,25%.
Kritik Lainnya
Selain dari Pulte dan Trump, kritik juga datang dari Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran AS, Russell Vought, yang menuduh Powell melakukan kesalahan kelola dan menyampaikan informasi menyesatkan ke Kongres terkait proyek renovasi kantor pusat The Fed yang dianggap terlalu mewah.
Powell sendiri membantah tuduhan tersebut dalam sidang di Senat, menyebut tudingan itu “tidak akurat dan menyesatkan.”
Situasi ini mencuat menjelang rapat kebijakan The Fed pada 29-30 Juli. Pasar memperkirakan peluang sebesar 93% bahwa suku bunga acuan akan tetap dipertahankan.
Sebelumnya, pada Juni, The Fed memang tidak mengubah suku bunga untuk keempat kalinya secara beruntun dan menyampaikan proyeksi akan memangkas suku bunga dua kali pada 2025, dengan total penurunan 0,5 poin ke kisaran 3,75%-4%.
Meskipun tekanan politik semakin kencang, posisi Powell tetap terlindungi. Putusan Mahkamah Agung AS pada Mei lalu menyatakan bahwa The Fed adalah lembaga semi-swasta dengan struktur unik yang membatasi kewenangan Presiden untuk memecat ketuanya secara langsung.