Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengusulkan skema Rent to Own (RTO) atau sewa untuk dimiliki sebagai solusi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang kerap terkendala persyaratan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Apersi, Junaidi Abdillah, mengatakan skema ini hadir untuk mengakomodasi calon pembeli rumah yang selama ini terhambat oleh masalah Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), status non-fixed income, dan penolakan dari perbankan.
"Solusinya kita coba menawarkan rent to own, sewa lalu untuk dimiliki, untuk dibeli. Nah, sewanya kita nantinya kurang lebih 2 tahun maksimal nanti kita dorong ke proses KPR berikutnya," ujar Junaidi kepada wartawan usai diskusi bersama Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait di kantor Kementerian PKP, Jumat (8/8/2025).
Dalam skema RTO, masyarakat akan menyewa rumah selama dua tahun sambil melalui proses profiling untuk membuktikan kelancaran pembayaran. Setelah periode itu, mereka akan diarahkan mengajukan KPR ke perbankan. Selama masa sewa, pembayaran terdiri dari tiga komponen: biaya sewa, biaya simpanan (untuk uang muka, proses, dan notaris), serta biaya pemeliharaan rumah.
Lebih Mudah dari KPR
Apersi memastikan skema ini lebih mudah diakses dibanding KPR konvensional karena persyaratan yang lebih sederhana, sehingga masyarakat yang selama ini dianggap non-bankable tetap berpeluang memiliki rumah.
"Pasti lebih mudah dari KPR karena apa persyaratannya lebih mudah, lebih gampang. Terus masyarakat yang selama ini non-bankable kayaknya pekerja tapi gak punya administrasi keuangan dan sebagainya. Ini salah satu jalan keluarnya," ujarnya.
Junaidi menyebut, Apersi siap menjalankan program ini dengan dukungan 3.500 pengembang. Pilot project akan dilakukan terlebih dahulu oleh Apersi sebelum melibatkan asosiasi pengembang lainnya. Pasokan unit diyakini tidak menjadi kendala, karena pengembang dapat menyesuaikan dengan permintaan.
Ia menambahkan, pelaksanaan RTO masih menunggu penyusunan regulasi dan akan melibatkan kerja sama dengan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta koordinasi lintas kementerian, termasuk pembahasan terkait pajak sewa rumah bagi MBR.
KPR Masih jadi Andalan Beli Rumah, Tapi Pertumbuhannya Seret
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih menjadi cara utama masyarakat Indonesia dalam membeli rumah. Berdasarkan data Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia, sebesar 73,06% pembelian rumah primer pada triwulan II 2025 dilakukan melalui skema KPR.
"Dari sisi konsumen, sebagian besar pembelian rumah primer dilakukan melalui KPR dengan pangsa sebesar 73,06%," Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, dalam laporan SUrvei Harga Properti Residensial Bank Indonesia, Jumat (8/8/2025).
Lebih lanjut, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan sementara sisanya menggunakan pembayaran tunai bertahap (17,75%) dan tunai langsung (9,19%).
Meskipun KPR masih mendominasi, tren pertumbuhannya mulai melambat. Secara tahunan, nilai KPR hanya tumbuh 7,81% (yoy) pada triwulan II 2025, turun dari 9,13% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun permintaan masih ada, pertumbuhan tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya.
"Pada triwulan II 2025, total nilai KPR secara tahunan tumbuh sebesar 7,81% (yoy), melambat dibandingkan 9,13% (yoy) pada triwulan sebelumnya," ujarnya.
Secara triwulanan, perlambatan lebih terasa. Pertumbuhan nilai KPR hanya mencapai 1,32% (qtq), jauh lebih rendah dibandingkan 2,54% (qtq) pada triwulan I 2025.
Suku Bunga dan Uang Muka Jadi Kendala Utama Konsumen
Dari sisi konsumen, dua tantangan utama dalam pengajuan KPR adalah tingginya suku bunga dan uang muka yang memberatkan. Berdasarkan survei BI, 15% responden mengeluhkan suku bunga KPR yang masih tinggi, sedangkan 11,38% lainnya menyebut proporsi uang muka sebagai hambatan.
"Berdasarkan hasil survei, penghambat utama pengembangan dan penjualan properti residensial primer meliputi kenaikan harga bahan bangunan (19,97%), masalah perizinan/birokrasi (15,13%), suku bunga KPR (15,00%), proporsi uang muka yang tinggi dalam pengajuan KPR (11,38%), dan perpajakan (8,66%)," ujarnya.
Kondisi ini membuat banyak calon pembeli ragu untuk mengajukan kredit, meskipun memiliki kebutuhan tempat tinggal. Terutama bagi generasi muda dan pasangan muda, uang muka yang besar bisa menjadi tembok penghalang untuk masuk ke pasar perumahan.