Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) bakal mengikuti arahan Presiden Prabowo Subianto soal skema pemanfaatan bersama jaringan kelistrikan. Menyusul pernyataan dari Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, yang bilang RI 1 menolak usulan itu.
Pasal terkait power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET) menuai perdebatan. Aturan tersebut membolehkan pihak pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.
Menanggapi penolakan yang disampaikan oleh Hashim, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, pihaknya pasti akan mengikuti perintah dari Prabowo.
"Ya kita pasti kita ikutin arahan presiden. Sudah jelas. Sudah keluar statement dari pak Hashim, arahan Presiden seperti itu," kata Dadan saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (28/2/2025).
"Kalau perintah presiden pasti kita laksanakan. Nanti begitu ada jadwal dengan Presiden, kita sesuaikan," dia menambahkan.
Untuk diketahui, daftar inventaris masalah (DIM) pemerintah terkait power wheeling dalam pasal 24A ayat (2) adalah pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari Energi Baru/Energi Terbarukan.
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan Energi Baru/Energi Terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.
Namun, Hashim Djojohadikusumo menyatakan, penerapan skema power wheeling tidak diterima oleh Prabowo. Lantaran bisa menggerus peran PT PLN (Persero) sebagai BUMN di sektor ketenagalistrikan.
Hashim menilai, penyaluran listrik untuk masyarakat harus berada di bawah kendali pemerintah melalui PLN. "Kalau dibuka, power wheeling ini bisa jadi wild west, dan sektor listrik didominasi pihak-pihak yang non Indonesia," ungkapnya.
Potensi Jadi Beban APBN
Pertentangan soal penerapan skema power wheeling memang ramai disuarakan berbagai pihak. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai, masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET bisa menjadi beban bagi APBN mendatang.
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah dan DPR RI tidak perlu memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET.
"Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan. Karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang," kata Abra beberapa waktu lalu, dikutip dari Antara.
Menurut dia, lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik milik swasta melalui skema power wheeling.
Swasta Bisa Jual Listrik Secara Langsung
Aturan power wheeling tersebut memperbolehkan pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya kepada masyarakat secara langsung dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.
"Ada beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara," kata dia.
Risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena ada potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.
Implikasinya, tambahnya, akan timbul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem kelistrikan sehingga setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya take or pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.
Soal Ekspor Listrik EBT, Bahlil Tagih Investasi dari Singapura
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia tidak masalah terkait rencana ekspor listrik energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura. Namun, dia meminta ada timbal balik berupa investasi dari negara tersebut.
Sebelumnya, ada rencana untuk menyalurkan listrik yang bersumber dari pembangkit EBT dari Indonesia ke Singapura. Bahlil sendiri pernah menyinggung hal tersebut beberapa waktu lalu.
"Saya sudah ngomong bahwa untuk ekspor listrik ke Singapura, kita enggak ada masalah. Tapi saya tanya, Singapura kasih Indonesia apa?," ungkap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Dia mengatakan, perlu adanya perlakuan yang sama rata, apalagi diantara negara-negara di Asia Tenggara. Dia menegaskan tetap bisa mengirim listrik EBT ke Singapura.
"Jadi gini, kita itu kan harus equal treatment. Kita ini kan di kawasan ASEAN, kita ingin untuk sharing. Kita ingin berbagi dengan Singapura, tapi Singapura bagi kita apa?," tuturnya.
Kirim Tim Negosiasi
Pada konteks ini, Bahlil menagih investasi dari Singapura ke Indonesia. Misalnya, menanamkan modal untuk proyek hilirisasi yang sedang jadi perhatian pemerintah.
"Dia harus melakukan investasi bareng, kan kita lagi dorong hilirisasi, kita lagi mendorong hilirisasi. Ya dia juga melakukan investasi bareng dong. Jangan energi baru terbarukan kita kirim, dia minta CCS, kemudian Indonesia, opo?," bebernya.
Bahlil mengatakan rencana ekspor listrik EBT ke Singapura masih dalam proses. Pihaknya sudah mengirim tim untuk negosiasi soal rencana tersebut.
Meski tidak membeberkan poin negosiasinya, Bahlil menyinggung soal kesetaraan dan kepentingan dalam negeri.
"Nah sekarang tim itu lagi berunding, tim kami dengan tim dari pihak Singapura itu lagi berunding, lagi mencari formatnya yang baik," kata dia.
"Kita baik sama negara lain, kita akan kasih ke negara lain, tapi negara lain juga harus baik sama kita. Kita kasih ke mereka, tapi mereka juga harus kasih kita apa," tambah Bahlil.