Liputan6.com, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjamin dana nasabah yang rekeningnya diblokir. Termasuk memberikan transparansi terkait proses pemblokiran rekening dormant tersebut.
Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo meminta PPATK untuk terbuka mengenai pemblokiran rekening tak aktif tadi. Tujuannya memastikan hak dasar konsumen atau nasabah tetap terpenuhi.
"YLKI meminta pembukaan blokir rekening tidak mempersulit konsumen dan YLKI meminta PPATK menjamin uang konsumen tetap utuh dan aman tak kurang sepeser pun atas pemblokiran yang dilakukannya," kata Rio dalam keterangannya, Selasa (29/7/2025).
Rio juga meminta PPATK juga selektif dalam memblokir rekening karena menyoal keuangan sangat sensitif. Bisa jadi, dana dalam rekening itu memang sengaja dijadikan simpanan jangka panjang.
"Apalagi jika rekening yang diblokir merupakan tabungan konsumen yang sengaja di endapkan untuk keperluan dan jangka waktu tertentu," ucapnya.
Atas pemblokiran tersebut PPATK perlu ada waktu pemberitahuan kepada konsumen sebelum diblokir. Dengan begitu, menurut dia, konsumen bisa mendapat informasi dan memitigasi soal tabungannya. "Serta konsumen bisa menyanggah jika akun rekening tersebut aman dan tidak digunakan untuk perbuatan pidana apalagi menyangkut judi online," katanya.
Terkait pemblokiran akun rekening, YLKI juga meminta PPATK membuka hotline crisis center bagi konsumen yang ingin mencari informasi maupun melakukan pemulihan akun rekening Bank yang terkena blokir.
PPATK Blokir Rekening Dormant
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menganalisis lebih dari 1 juta rekening diduga terkait dengan tindak pidana. Hasilnya, dari 1 juta rekening tersebut, terdapat lebih dari 150 ribu rekening menampung dana hasil tindak pidana atau kejahatan. Ini terungkap dari Analisis ataupun Hasil Pemeriksaan PPATK sejak tahun 2020.
"Dari 1 juta rekening tersebut, terdapat lebih dari 150 ribu rekening adalah nominee, dimana rekening tersebut diperoleh dari aktivitas jual beli rekening, peretasan atau hal lainnya secara melawan hukum, yang selanjutnya digunakan untuk menampung dana dari hasil tindak pidana, yang kemudian menjadi menjadi tidak aktif/dormant, dan lebih dari 50.000 rekening tidak ada aktifitas transaksi rekening sebelum teraliri dana ilegal," ujar Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M. Natsir Kongah dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Untuk itu, PPATK mengambil langkah untuk menjaga kepentingan pemilik sah rekening di perbankan serta integritas sistem keuangan nasional, dengan menghentikan sementara transaksi pada rekening dormant, yaitu rekening yang tidak aktif dalam jangka waktu tertentu. Data rekening diperoleh PPATK berdasarkan laporan dari perbankan.
Dipakai Tindak Kejahatan
Langkah ini bukan tanpa alasan. PPATK dalam proses analisis yang dilakukan sepanjang 5 tahun terakhir, menemukan maraknya penggunaan rekening dormant yang tanpa diketahui/disadari pemiliknya menjadi target kejahatan, digunakan untuk menampung dana-dana hasil tindak pidana, jual beli rekening, peretasan, penggunaan nominee sebagai rekening penampungan, transaksi narkotika, korupsi, serta pidana lainnya.
Dana pada rekening dormant di ambil secara melawan hukum baik oleh internal bank maupun pihak lain dan rekening dormant yang tidak diketahui pemiliknya (tidak pernah dilakukah pengkinian data nasabah). Selain itu, rekening dormant tetap memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran biaya administrasi kepada bank hingga banyak rekening dormant dananya habis serta ditutup oleh pihak bank.
Selain itu, juga ditemukan juga lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang dinyatakan dormant, dengan total dana mencapai Rp 500 miliar. Padahal secara fungsi, rekening ini seharusnya aktif dan terpantau.
Ada Dana Rp 428 Miliar
Dijelaskan pula, PPATK menemukan, banyak rekening tidak aktif (bahkan terdapat lebih dari 140 ribu rekening dormant hingga lebih dari 10 tahun, dengan nilai Rp. 428.612.372.321,00) tanpa ada pembaruan data nasabah.
Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya, yang akan merugikan kepentingan masyarakat atau bahkan perekonomian Indonesia secara umum.
"Hal ini jika didiamkan akan memberikan dampak buruk bagi ekonomi Indonesia, serta merugikan kepentingan pemilik sah dari rekening tersebut," jelas dia.