Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) mengkonsolidasikan percepatan pembangunan pabrik bioethanol. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri.
Selain itu, Kementerian ESDM membidik Kabupaten Merauke, Papua Selatan mulai memproduksi bioethanol pada 2027 sebagai realisasi dari salah satu proyek utama pengembangan food estate.
"Kami harapkan 2027 sudah ada produksi bioethanol di Merauke, Papua Selatan,” kata Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung seperti dikutip dari Antara, Jumat (8/8/2025).
Ia mengatakan, untuk merealisasikan target itu, Kementerian ESDM fokus membahas percepatan pembangunan pabrik bioethanol untuk penuhi kebutuhan bahan bakar di dalam negeri.
“Ini yang sedang kami konsolidasikan,” kata dia.
Kabupaten Merauke Provinsi Papua Selatan adalah salah satu kawasan food estate yang menjadi fokus pemerintah.
Adapun pengembangan food estate di Merauke mencakup tiga proyek utama, pertama, pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol seluas 500.000 hektare. Kedua, optimalisasi lahan (Oplah) dari semula 40.000 hektare menjadi 100.000 hektare.
Ketiga, pencetakan sawah baru seluas satu juta hektare, yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian.
Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia selaku Ketua Harian Dewan Energi Nasional (DEN), ketika memimpin Sidang Anggota Kedua dan Ketiga DEN Tahun 2025, menyampaikan akan mendorong perkebunan tebu di Merauke untuk menghasilkan etanol dan metanol.
Etanol yang dihasilkan dari perkebunan tebu di Merauke, Papua Selatan, akan diolah menjadi bioetanol dalam rangka mereplikasi keberhasilan Brasil dalam memanfaatkan tebu untuk menjadi energi baru dan terbarukan, sebagai bentuk dari upaya transisi energi.
"Mereka (Brasil) pakai tebu ya, bensinnya itu, mereka menuju 100 persen bisa pakai itu. Kita ini kan impor etanol dan metanol ini setiap tahun. Jadi mungkin yang di Merauke ini yang perlu kita 'push' untuk tebunya itu dikonversi ke etanol dan metanol saja," ujar Bahlil di Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025.
Pengembangan Bioetanol Jadi Bahan Bakar Kendaraan Butuh Regulasi Holistik
Sebelumnya, pengembangan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan memerlukan regulasi yang holistik dari hulu ke hilir. Salah satunya, regulasi menjadikan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan sebagai mandat, seperti halnya yang diimplementasikan terhadap program biodiesel.
Sejatinya, program bioetanol untuk bahan bakar kendaraan perlu disambut baik karena bahan bakar nabati (BBN) menjadi solusi efektif untuk dekarbonisasi di sektor transportasi yang merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar.
Kesuksesan implementasi program biodiesel di Indonesia bisa menjadi contoh program bioetanol. Tidak saja menurunkan emisi GRK, program bioetanol berpotensi menurunkan impor BBM karena sebagian diganti dengan bioetanol.
Direktur Perencanaan Strategis & Pengembangan Bisnis Pertamina New Renewable Energy (Pertamina NRE) Fadli Rahman mengatakan, program bioetanol selaras dengan Asta Cita pemerintah, khususnya terkait swasembada pangan dan energi, serta menciptakan lingkungan yang berkelanjutan.
Namun, menurut dia, masih terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan bioetanol. Salah satunya adalah persaingan pemanfaatan bioetanol untuk pangan, industri, dan bahan bakar. Terlebih saat ini bahan baku bioetanol yakni molase, merupakan produk komoditas yang menjadi langganan untuk diekspor.
Penawaran dari industri pangan dan industri lain untuk molase, ditambah potensi ekspor yang menarik di kancah internasional, menjadikan ketersediaan pasokan bahan baku utama di dalam negeri menjadi lebih terbatas. Ini sehingga, harga bioetanol menjadi lebih tinggi dibandingkan harga bahan bakar minyak (BBM) dikarenakan kompetisi bahan baku.
"Hal ini tentunya akan berpengaruh pada harga jual ke konsumen apabila tidak ada insentif," jelas dia.
Tantangan lainnya adalah perlunya penyediaan lahan cukup luas untuk menanam tanaman bahan baku bioetanol, tidak hanya tebu, tapi juga singkong, jagung, dan sorgum.
Peta Jalan PNRE
Pertamina sebagai BUMN energi yang memiliki peran strategis dalam mendukung swasembada energi nasional telah memiliki peta jalan dan inisiatif pengembangan bioetanol.
Saat ini Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bekerja sama dengan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membangun pabrik bioetanol berbasis molase di Glenmore, Banyuwangi, dengan kapasitas 30 ribu KL per tahun. Dalam peta jalannya, Pertamina NRE memiliki rencana-rencana pengembangan bioetanol baik secara organik maupun anorganik melalui diversifikasi beragam sumber bahan baku.
Untuk diketahui, sesuai dengan peta jalan bioetanol pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 40 tahun 2023, target penyediaan bioetanol nasional mencapai 1,2 juta kiloliter (KL) per tahun pada tahun 2030.
Masih ada Gap
Sementara, tingkat kapasitas produksi bioetanol fuel grade saat ini baru mencapai 63 ribu KL per tahun, sehingga terdapat gap supply dan demand yang akan semakin besar seiring dengan meningkatnya proyeksi penggunaan BBM dengan campuran bioetanol.
Saat ini, bioetanol sebesar 5%telah menjadi campuran Pertamax Green 95 yang diluncurkan tahun lalu oleh PT Pertamina Patra Niaga dan telah tersedia di 101 SPBU di Jabodetabek dan Surabaya.
Pemanfaatan bioetanol untuk bahan bakar kendaraan juga akan mendorong optimalisasi sumber energi domestik, di mana Indonesia memiliki potensi yang cukup besar. Tidak saja dari molase yang merupakan produk sampingan gula, bioetanol dapat berasal dari singkong, jagung, dan sorgum.