Meski Sudah Dilarang, Masih Banyak Kapal Pukat Harimau Melaut

6 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Meski pemerintah Indonesia telah melarang penggunaan alat tangkap trawl atau pukat harimau sejak 2015 melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015, kenyataan di lapangan menunjukkan praktik ini masih marak terjadi.

Dalam diskusi yang digelar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengungkap sejumlah temuan lapangan penggunaan pukat harimau, mulai dari dampak sosial-ekonomi bagi nelayan kecil hingga lemahnya penegakan hukum di daerah-daerah tertentu seperti Labuhanbatu Utara Sumatera Utara, Gresik Jawa Timur, dan Kotabaru Kalimantan Selatan.

Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan, penggunaan pukat harimau memang efisien dalam jangka pendek, tapi dalam jangka Panjang justru akan merusak sumber daya laut.

"Dampaknya sangat dirasakan oleh nelayan kecil, dari menurunnya pendapatan hingga anak-anak mereka terpaksa putus sekolah. Ketimpangan terus terjadi. Ini bukan hanya soal alat tangkap, tapi juga soal keadilan sosial," tegas Huda dikutip Sabtu (12/7/2025).

Diskusi juga menyoroti dugaan adanya kolusi antara pelaku pukat harimau dan aparat atau pejabat daerah.

"Ini bisa disebut state capture corruption. Ketika aturan dibuat tapi tidak ditegakkan, bahkan direvisi untuk mengakomodasi pelanggaran," ujar Huda.

Praktik Pengguaan Pukat Harimau di Berbagai Daerah

Labuhanbatu Utara: Pembakaran Kapal Trawl dan Ketiadaan Dinas Perikanan

Di Labuhanbatu Utara, alat tangkap jenis "pukat tarik dua kapal" beroperasi di bawah 5 mil dari garis pantai, wilayah yang seharusnya eksklusif bagi nelayan kecil.

Ironisnya, kantor-kantor pengawasan di wilayah tersebut tidak melakukan penindakan apa pun.

Tahun 2016, nelayan setempat yang frustrasi membakar kapal-kapal trawl. Namun alih-alih mendapatkan perlindungan hukum, mereka justru ditangkap. Hingga kini, nelayan kecil di sana enggan melapor karena takut.

Lebih parahnya lagi, Labuhanbatu Utara tidak memiliki dinas perikanan sendiri. Fungsi pengelolaan kelautan dan perikanan hanya berada di bawah bidang dalam dinas pertanian, yang memperlemah pengawasan dan respons terhadap pelanggaran.

Gresik: Batu Kapur untuk Melawan Trawl

Di Gresik, nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap burung kerap kehilangan hasil tangkapan karena wilayah penempatan alat mereka diganggu oleh kapal trawl. Mereka pun menggunakan strategi local yaitu menabur batu kapur di perairan sebagai bentuk sabotase terhadap jaring trawl.

Selain itu, KNTI melakukan pelaporan langsung ke dinas perikanan kabupaten, yang kemudian mendorong dinas provinsi untuk melakukan penindakan.

Kotabaru: Trawl oleh Sesama Nelayan Tradisional

Fenomena berbeda terjadi di Kotabaru. Di wilayah ini, trawl justru digunakan oleh nelayan kecil itu sendiri karena dianggap lebih cepat dan menguntungkan secara ekonomi. Namun KNTI menegaskan bahwa pendekatan berbasis edukasi tetap dijalankan, termasuk sosialisasi batas wilayah dan dampak ekologis dari penggunaan trawl.

Tegakkan Hukum dan Libatkan Nelayan

KNTI menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan konsisten. Mereka juga mendesak pelibatan nelayan kecil dalam perumusan kebijakan dan pembentukan lembaga pengelola yang memadai, seperti dinas perikanan khusus di daerah-daerah pesisir.

“Tidak ada yang kecil dan tradisional yang mau ekosistemnya itu rusak,” kata perwakilan KNTI. “Pelaku-pelaku yang melakukan perusahaan ekosistem adalah pelaku trawl, terutama melakukan trawl di wilayah-wilayah tangkap yang tidak sesuai dengan aturannya,” ujar Pengurus Pusat KNTI, Miftahul Khausar.

Diskusi ini menjadi pengingat bahwa regulasi tanpa penegakan hanya akan jadi teks kosong. Dan ketika hukum tidak berpihak, laut tak lagi ramah bagi yang hidup darinya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |