Liputan6.com, Jakarta - Indonesia masih negosiasi termasuk tarif resiprokal atau tarif timbal balik 19% untuk komoditas andalan Indonesia. Apalagi Eropa dan Jepang ternyata kini mendapatkan tarif 15%.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan, tarif resiprokal 19% yang disepakati sebelumnya antara Indonesia dan Amerika Serikat bukan lagi yang terendah.
"Sebenarnya kita masih negosiasi semuanya, termasuk tarif resiprokal 19 persen. Posisi saat itu, terendah, kemarin tiba-tiba ada Eropa dengan Jepang yangn dapat 15 persen, jadi kita masih negosiasi lagi," kata Susiwijono usai menghadiri Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025 di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Selasa (29/7/2025).
Susiwijono menuturkan, tarif rendah yang didapatkan Jepang dan Uni Eropa bukan tanpa syarat. Jepang harus membeli produk AS termasuk alat pertahanan senilai USD 8 miliar. Lalu Jepang juga investasi sebesar USD 550 miliar.
Di sisi lain, Uni Eropa disyaratkan membeli produk AS senilai USD 750 miliar dan penanaman investasi USD 600 miliar. Ia mengatakan, syarat itu cukup berat jika dibandingkan dengan apa yang disepakati Indonesia dan Amerika Serikat.
Indonesia masih menanti pemberlakuan resmi dari pihak Amerika Serikat meski kesepakatan tarif 19 persen telah dicapai. Saat ini, tarif dasar yang berlaku atas ekspor Indonesia ke AS masih tarif dasar yang berada 10% dan telah diberlakukan sejak April 2025.
Menanggapi pernyataan Donald Trump yang akan mengerjakan tarif 15%-20% kepada negara yang belum memiliki perjanjian dagang resmi, Susi menuturkan akan meminta klarifikasi dengan pihak AS terkait kejelasan implementasinya.
"Masa yang lain enggak ngapa-ngapain (dikenakan) rata-rata 15-20 persen. Enggak mungkin. Jadi kejelasannya seperti apa,” kita harus tanyakan ke USTR, termasuk kita pun negara-negara yang sudah sepakat,” kata dia.
Kesepakatan Dagang
Adapun selain tarif, kesepakatan dagang Indonesia-Amerika Serikat (AS) juga mencakup komitmen pembelian sejumlah produk asal AS. Produk yang dibeli itu antara lain pembelian energi sebesar USD 15 miliar, produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, investasi USD 10 miliar, dan pembelian 50 unit pesawat Boeing, dan sebagian besar model Boeing 777.
Meski telah menyepakati tarif resiprokal 19%, pemerintah masih melanjutkan proses negosiasi lanjutan dengan Amerika Serikat (AS). Negosiasi lanjutan menyasar berbagai komoditas yang pada dasarnya tidak dapat diproduksi sendiri oleh AS sehingga memiliki ketergantungan tinggi terhadap impor dari negara lain termasuk Indonesia.
Di antara komoditas yang menjadi fokus antara lain produk-produk sumber daya alam unggulan Indonesia antara lain kelapa sawit, kopi, kakao dan produk agro lainnya.
Ini Kata Luhut Soal Dampak Tarif Impor 19 Persen
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pentingnya langkah deregulasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, seiring dengan hasil negosiasi tarif impor 19 persen dengan Amerika Serikat (AS).
Menurut Luhut, tanpa pembenahan regulasi secara serius dan menyeluruh, kebijakan tarif tersebut tidak akan memberikan dampak maksimal terhadap perekonomian Indonesia.
“Saya terus terang masalah deregulasi ini buat saya adalah satu hal yang harus dikerjakan, karena tanpa melakukan deregulasi ini, kita punya ekonomi juga nanti tidak akan maksimal menggunakan tarif 19 persen tadi. Karena tarif 19 persen ini masih banyak backdrop-nya yang dibawa yang akan membuat perekonomian kita bagus di masa depan,” ujar Luhut dalam acara peluncuran Yayasan Padi Kapas Indonesia di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (28/7/2025).
Relokasi Industri dari Vietnam dan Taiwan
Ia menyampaikan bahwa Indonesia memiliki banyak potensi unggulan seperti mineral kritis, tanah jarang, dan hasil laut. Selain itu, tarif 19 persen ini juga menjadi daya tarik relokasi dari negara lain seperti Vietnam dan Taiwan. Hal ini, menurutnya, membuka peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
“Lapangan kerja, bahkan banyak orang dari Vietnam juga pengen, Taiwan pengen juga relokasi, karena 1 persen, sangat berarti sebenarnya. Jadi banyak yang kita punya, kita punya mineral kritis, kita punya tanah jarang, punya banyak sekali rumput laut dan sebagainya. Jadi tidak ada alasan menurut saya, kita tidak bisa tumbuh di 8 persen, 7-8 persen pada tahun 2029-2030,” kata Luhut.
Namun ia mengingatkan, keberhasilan pertumbuhan ekonomi tersebut sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dan seluruh pihak dalam menjalankan agenda reformasi secara detail dan kolaboratif.
“Kecuali tadi kita tidak sungguh-sungguh melihat masalah, tidak kita mengerjakannya secara detail, tidak kita bangun kekompakan, kita saling menyalahkan, itu akan menjadi korban adalah rakyat,” pungkasnya.