Aturan Baru Pajak Emas Berlaku, Industri Logam Mulia Bakal Tumbuh Subur

1 month ago 36

Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan apresiasinya terhadap langkah strategis pemerintah yang telah menerbitkan dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru guna memperkuat ekosistem emas nasional.

Meskipun demikian, ia menekankan bahwa kedua peraturan tersebut masih memerlukan penguatan fundamental, khususnya dalam aspek pengawasan, untuk memastikan efektivitas kebijakan dan mengamankan potensi pendapatan negara secara optimal.

Pernyataan ini merujuk pada PMK No. 51 tahun 2025 dan PMK No. 52 tahun 2025 yang telah ditetapkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku efektif sejak 1 Agustus 2025.

Menurut Misbakhun, kebijakan yang mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25% atas pembelian emas batangan oleh bullion bank, yang disertai berbagai pengecualian strategis, merupakan sebuah langkah positif.

"Pemerintah telah mengambil langkah awal yang sangat baik dengan kedua PMK ini. Kami di Komisi XI mengapresiasi visi tersebut," kata dia dikutip Senin (4/8/2025).

Kebijakan ini dinilai sebagai terobosan yang dirancang secara cermat untuk mendorong efisiensi sistem, meningkatkan likuiditas, dan menjaga daya saing sektor emas di dalam negeri di tengah tantangan pasar global. Langkah tersebut diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan industri emas yang lebih terstruktur dan transparan di Indonesia.

Namun, dia menggarisbawahi bahwa keberhasilan implementasi PMK ini sangat bergantung pada adanya penyempurnaan lebih lanjut. Menurutnya, peraturan tersebut perlu penguatan untuk menjamin kepastian hukum dan menutup celah yang berpotensi merugikan negara. Tanpa perbaikan yang solid, tujuan mulia dari penerbitan regulasi ini dikhawatirkan tidak akan tercapai sepenuhnya.

Area Krusial

Lebih lanjut, secara spesifik, Misbakhun menyoroti beberapa area krusial yang harus segera ditindaklanjuti. Penguatan yang dimaksud mencakup perumusan definisi operasional yang lebih rigid dan tidak multi-tafsir di dalam batang tubuh peraturan, memperjelas perlakuan skema pajak untuk transaksi emas non fisik atau digital yang volumenya terus meningkat, sebuah aspek yang belum diatur secara eksplisit.

Di samping itu, Misbakhun menegaskan bahwa elemen terpenting yang menjadi kunci sukses kebijakan ini adalah pembangunan sistem pengawasan terpadu yang efektif. Ia memandang perlu adanya sebuah mekanisme pengawasan yang terintegrasi antar lembaga terkait untuk memantau seluruh rantai transaksi emas.

Sistem ini dirancang untuk memastikan tidak ada potensi penerimaan negara yang hilang akibat praktik penghindaran pajak atau aktivitas ilegal lainnya, sehingga manfaat ekonomi dari sektor emas dapat dirasakan secara maksimal oleh negara dan masyarakat.

"Namun, pekerjaan rumah kita belum selesai. Regulasi ini harus menjadi benteng yang kokoh. Oleh karena itu, perumusan definisi yang presisi, kejelasan pajak transaksi digital, dan terutama sistem pengawasan yang terintegrasi adalah kunci mutlak agar tujuan besar kita untuk efisiensi sistem dan optimalisasi penerimaan negara benar-benar tercapai tanpa ada kebocoran," tutup Misbakhun.

Aturan Pajak Emas di Bullion Bank Berlaku 1 Agustus 2025

Sebelumnya, penerapan mengenai pajak atas transaksi emas melalui bullion atau bank emas lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 dan 52 Tahun 2025 berlaku efektif 1 Agustus 2025.

Pokok pengaturan baru dalam PMK Nomor 51 Tahun 2025 tersebut mencakup penunjukan lembaga jasa keuangan (LJK) Bullion sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan dan penetapan PPh Pasal 22 atas impor emas batangan sebesar 0,25%.

PMK juga mengatur penjualan emas oleh konsumen akhir kepada LJK Bullion Bank hingga Rp 10 juta, dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22.

"Kita atur berikutnya pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan emas batangan kepada lembaga jasa keuangan penyelenggara kegiatan usaha bulion PMK 52 tahun 2025. Tarif 0,25% dari nilai pembelian tidak termasuk PPN di dalamnya, ekslude PPN. Adapun transaksi hingga Rp 10 juta dikecualikan dari pemungutan," ujar Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, Kamis, (31/7/2025), dikutip Jumat (1/8/2025).

Selain itu, PMK kedua adalah PMK Nomor 52 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 48 Tahun 2023 tentang PPh dan/atau PPN atas Penjualan/Penyerahan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, serta Jasa yang Terkait dengan Emas Perhiasan, Emas Batangan, Perhiasan yang Bahan Seluruhnya Bukan dari Emas, dan/atau Batu Permata dan/atau Batu Lainnya yang Sejenis, yang Dilakukan oleh Pabrikan Emas Perhiasan, Pedagang Emas Perhiasan, dan/atau Pengusaha Emas Batangan (PMK-52/2025).

Pungutan PPh Tak Berlaku untuk Penjualan Emas Ini

PMK Nomor 52 Tahun 2025 mengatur ketentuan PPh Pasal 22 atas kegiatan usaha bulion dalam bentuk perdagangan (bullion trading). PMK ini juga menetapkan pemungutan PPh Pasal 22 tidak dilakukan atas penjualan emas perhiasan atau emas batangan oleh pengusaha emas perhiasan dan/atau emas batangan kepada konsumen akhir, wajib pajak UMKM dengan PPh final, serta wajib pajak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22.

Pengecualian serupa juga berlaku untuk penjualan emas batangan kepada Bank Indonesia, melalui pasar fisik emas digital, dan kepada LJK Bulion.

"Lalu kita juga menghapus skema SKB (Surat Keterangan Bebas) atas impor emas batangan, impor emas batangan kini dipungut dengan PPH pasal 22 sama perlakuan seperti pembelian dalam negeri," kata dia.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |