Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendengar kabar pemerintah akan menerapkan pajak bagi penerima amplop kondangan. Hal itu seiring pemerintah sedang memutar otak untuk menambah sumber penerimaan negara.
Demikian disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Mufti Anam saat Raker dan RDP dengan Pemerintah di Komisi VI DPR RI, ditulis Kamis (24/7/2025).
"Negara kehilangan pemasukan. Kementerian Keuangan harus putar otak untuk bagaimana menambah defisit. Lahirlah kebijakan yang buat rakyat keringat dingin," ujar Mufti.
Ia mengatakan, masyarakat yang jualan online di Shopee dan Tokopedia kena pajak, termasuk dikabarkan penerima amplop kondangan. "Kami dengar dalam Waktu, orang dapat amplop kondangan di kondangan, di hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah. Ini tragis sehingga membuat rakyat hari ini menjerit," kata dia.
Mufti mengatakan, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga bingung. "Anak-anak muda kita yang jualan online di daerah mulai berhitung ulang. Ini bagian dampak sumber Utama penerimaan negara hilang karena dividen hari ini diberikan kepada Danantara. Kalau memang dividen BUMN diberikan ke Danantara, apa jaminan dividen ini bisa dikelola baik oleh Danantara dibandingkan pemerintah. Bicara Rp 90 triliun dibelikan beras dapat hidupi rakyat kita di desa-desa," kata dia.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun menanggapi mengenai hal itu. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menuturkan, tidak ada kebijakan baru dari Ditjen Pajak dan pemerintah yang secara khusus akan memungut pajak dari amplop hajatan dan kondangan baik yang diterima secara langsung dan melalui transfer digital.
"Pernyataan tersebut mungkin muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap prinsip perpajakan yang berlaku secara umum," kata dia.
Tak Kena Pajak
Rosmauli menuturkan, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, setiap tambahan kemampuan ekonomis dapat menjadi objek pajak, termasuk hadiah atau pemberian uang. Namun, penerapannya tidak serta merta berlaku untuk semua kondisi.
"Jika pemberian tersebut bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi prioritas pengawasan DJP," kata dia.
Ia mengatakan, hal penting untuk dipahami, sistem perpajakan menganut prinsip self-assessment, yakni setiap Wajib Pajak melaporkan sendiri penghasilannya dalam SPT Tahunan.
"DJP tidak melakukan pemungutan langsung di acara hajatan, dan tidak memiliki rencana untuk itu," kata dia.
Ditjen Pajak Hapus Sanksi Administratif Terkait Penerapan Coretax
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak/DJP) menghapus sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan atau penyetoran pajak yang terhubung dan penyampaian surat pemberitahuan sehubungan dengan implementasi coretax DJP.
Hal itu diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 67/PJ/2025 pada 27 Februari 2025 tentang Kebijakan Penghapusan Sanksi Administratif atas Keterlambatan Pembayaran dan/atau Penyetoran Pajak yang Terutang dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Sehubungan Dengan Implementasi Coretax DJP.
"Penghapusan sanksi administratif dilakukan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam hal STP telah diterbitkan sebelum keputusan ini berlaku maka akan dilakukan penghapusan sanksi administratif secara jabatan,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2025).
Pokok Penetapan Keputusan
Berikut pokok penetapan keputusan:
A.Wajib pajak diberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta pelaporan atau penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).
B. Penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang diberikan atas:
i.Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) selain yang terutang atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, dan PPh Pasal 26 yang terutang untuk Masa Pajak Januari 2025 yang dibayar setelah tanggal jatuh tempo sampai dengan 28 Februari 2025.
ii.PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk Masa Pajak Desember 2024 yang disetor setelah jatuh tempo sampai dengan 31 Januari 2025 dan Masa Pajak Februari 2025 yang disetor setelah jatuh tempo sampai dengan 28 Februari 2025.
iii.Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang untuk Masa Pajak Januari 2025 yang disetor setelah jatuh tempo sampai dengan 10 Maret 2025.
iv.Bea Meterai yang dipungut Pemungut Bea Meterai untuk Masa Pajak Desember 2024 yang disetor setelah jatuh tempo sampai dengan 31 Januari 2025 dan Masa Pajak Januari 2025 yang disetor setelah jatuh tempo sampai dengan 28 Februari 2025.