Liputan6.com, Jakarta - Banyak milenial dan Gen Z merasa kehidupan sosial mereka menjadi hambatan dalam mencapai tujuan finansial. Berdasarkan survei terbaru dari Ally Bank, hampir 60% responden dari dua generasi ini mengaku pengeluaran untuk kegiatan sosial telah mengganggu rencana keuangan mereka.
Salah satu contohnya adalah Emmy, wanita berusia 31 tahun asal Los Angeles. Sejak usia 18 tahun, Emmy terjebak dalam siklus utang kartu kredit menggunakan kartu hingga limit, melunasi, lalu kembali menggunakannya. Saat mulai membagikan cerita keuangan-nya di TikTok pada Maret lalu, utang Emmy telah mencapai lebih dari USD 28.000 atau atau Rp 461,49 juta (asumsi kurs dolar AS terhadap rupiah di kisaran 16.482).
“Saya tahu ini salah saya. Saya selalu menjadi teman yang berkata, ‘Sukses,’ atau ‘Oh, jangan khawatir, saya bisa atau ‘Bayar saja saya lain kali,’” katanya, dikutip dari CNBC, Senin (4/8/2025).
Ia mengakui sering tidak menagih kembali utang teman-temannya, dan kebiasaan itu perlahan menumpuk menjadi masalah keuangan serius.
Pengeluaran Sosial Tak Selalu Negatif, Tapi Bisa Kebablasan
Menurut Jack Howard, Head of Financial Well-being di Ally, menghabiskan waktu bersama teman sebenarnya baik untuk kesejahteraan emosional dan mental, tetapi bisa menjadi masalah bila tidak dikontrol.
“Anda akan mendapatkan hasil terbaik dari kesejahteraan Anda dengan melakukan itu. Tapi kemudian kita mendapat masalah, karena kita menemukan bahwa 42% orang menghabiskan uang secara berlebihan,” ujar Howard.
Keluarkan Uang Lebih dari Anggaran
Survei Ally mencatat, 42% milenial dan Gen Z mengaku mengeluarkan uang lebih dari anggaran mereka untuk aktivitas sosial selama beberapa bulan dalam setahun.
Rata-rata, orang dewasa AS menghabiskan sekitar USD 250 atau Rp 4,1 juta per bulan untuk kegiatan sosial. Meski begitu, hanya sedikit yang benar-benar menganggarkan pengeluaran tersebut secara serius hanya 18% Gen Z dan milenial yang memiliki alokasi anggaran ketat untuk aktivitas bersama teman.
“Saya rasa banyak orang tidak menyadari bahwa minum koktail bersama teman-teman perempuan saya hari ini, makan siang di siang hari ini, lalu saya pergi ke DoorDash dengan pasangan saya di hari lain, semua pengeluaran itu menumpuk,” ujar Howard.
Solusi: Ubah Pola Pikir dan Prioritaskan Pengalaman
Howard menyarankan untuk melihat uang sebagai alat untuk memperkuat nilai dan pengalaman hidup. Artinya, seseorang harus memahami apa yang benar-benar penting bagi mereka, lalu menyesuaikan pengeluaran di aspek lain agar bisa tetap menikmati momen sosial tanpa terjebak utang.
“Yang benar-benar Anda inginkan adalah pengalamannya. Yang benar-benar Anda inginkan adalah waktu bersama teman Anda," ujar Howard.
Sayangnya, hanya 23% milenial dan Gen Z yang secara aktif mencari alternatif aktivitas sosial yang murah atau gratis. Padahal, hal ini bisa menjadi solusi untuk tetap bersosialisasi tanpa membebani dompet.
Emmy kini sedang berusaha untuk membuka komunikasi dengan teman-temannya agar bisa memilih tempat nongkrong yang lebih hemat biaya. Namun, ia mengaku kesulitan karena sudah terbiasa bersikap "royal", sementara teman-temannya tidak mengetahui besarnya utang yang sedang ia hadapi.
“Saya bisa dengan yakin mengatakan bahwa mereka tidak akan menghakimi saya jika mereka tahu apa yang saya lakukan, tetapi saya masih [memiliki] rasa takut dianggap remeh oleh orang-orang yang kita sayangi,” kata dia.
Rasa Malu Bisa Picu Pengeluaran Berlebihan
Menurut Howard, rasa malu seperti yang dirasakan Emmy umum terjadi dan bisa mendorong orang untuk terus berbelanja demi menjaga citra sosial. Ia menyarankan agar kita mencoba memahami asal muasal perasaan tersebut.
“Sampai Anda benar-benar menghubungkan masa lalu itu dengan masa kini, Anda cenderung melakukan hal-hal itu berulang-ulang, yang akan terlihat tidak hanya dalam cara Anda membelanjakan uang untuk diri sendiri, tetapi juga dalam cara Anda membelanjakan uang dalam hubungan dengan teman dan keluarga,” ujarnya.
Bila merasa kewalahan mengatur keuangan pribadi, bekerja sama dengan perencana keuangan atau terapis finansial bisa menjadi solusi untuk menemukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan masing-masing.