Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri Hamzah, mengusulkan pembentukan semacam "Bulog di sektor perumahan". Usulan ini telah disampaikan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.
Fahri menjelaskan, perlu ada badan khusus atau perusahaan yang bertindak sebagai offtaker (penyerap) dari rumah subsidi yang dibangun pengembang. Konsepnya tidak jauh berbeda seperti Perum Bulog yang menyerap hasil panen petani lokal.
"Tinggal rumah, nih, rumah ini belum ada Bulog-nya, sehingga saya tadi mengajukan usulan kepada Menteri BUMN Pak Erick untuk memikirkan berdirinya Bulog untuk perumahan ini," kata Fahri di Kantor Kementerian BUMN, dikutip Sabtu (26/7/2025).
Fahri menyebut, perusahaan konstruksi kerap kebingungan menjual rumah subsidi. Padahal, angka backlog kepemilikan rumah disebut mencapai 10-15 juta unit. Untuk itu, diperlukan badan khusus yang menyerap langsung sebelum disalurkan ke masyarakat yang membutuhkan.
"Karena apa pun harus ada offtaker, supaya perusahaan-perusahaan konstruksi perumahan itu tidak perlu pusing. Katanya backlog ada 10 sampai 15 juta, tapi kok mesti pemasaran, kok mesti jungkir balik menjual, susah segala macam. Ini kan pasti ada masalah," ucapnya.
"Nah, masalahnya dalam usulan saya itu adalah hadirnya sebuah Bulog perumahan yang tentu nanti berasal dari BUMN yang ada," sambungnya.
Dua Masalah Utama Rumah Subsidi
Pada kesempatan ini, Fahri juga mengungkapkan setidaknya ada dua permasalahan utama berkaitan dengan rumah subsidi:
- Persoalan Tanah/Lahan: Ini erat kaitannya dengan harga tanah di lokasi tempat dibangunnya rumah subsidi.
- Penyerapan (Offtaker): Merujuk pada banyaknya rumah subsidi yang baru terjual setelah dibangun cukup lama oleh pengembang.
"Mungkin teknisnya nanti akan kita bahas, tapi yang penting Pak Erick sudah tahu dulu bahwa inti dari problem perumahan itu, salah satunya adalah setelah tanah, itu adanya offtaker," sebutnya.
Aturan Rumah Subsidi Kembali Maksimal Tipe 36
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) memastikan bahwa rumah subsidi tetap maksimal tipe 36. Dengan demikian, aturan rumah subsidi kembali mengikuti ketentuan sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023.
Dalam aturan tersebut, luas bangunan rumah tapak minimal 21 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi, serta luas tanah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.
"Untuk rumah subsidi kembali lagi, aturannya maksimal tipe 36 untuk rumah subsidi. Karena sampai sekarang aturannya belum diubah, jadi balik ke sana," kata Direktur Jenderal Kawasan Permukiman Kementerian PKP, Fitrah Nur, dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (11/7/2025), seperti dikutip dari Antara.
Usulan Rumah Mini Dibatalkan Setelah Uji Publik
Mengenai usulan draf aturan terkait rumah mini 18 meter persegi dengan luas tanah minimal 25 meter persegi, Fitrah Nur menjelaskan bahwa Kementerian PKP sebenarnya harus mengubah terlebih dahulu Peraturan Pemerintah (PP) No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas PP No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
"Karena di lampiran PP No. 12 Tahun 2021 tersebut tanah efektif yang minimal itu adalah 54 meter persegi. Jadi ada itu dalam aturannya, berarti kita harus mengubah itu terlebih dahulu baru kebijakan ini bisa dilakukan," ujar Fitrah Nur.
Menurut dia, usulan rumah subsidi yang akan diperkecil itu sebetulnya dilakukan uji publik terlebih dahulu kepada masyarakat. "Kalau kita bikin ini untuk subsidi diterima tidak? Ternyata tidak diterima baik oleh masyarakat. Ya, sudah makanya (usulan itu) kita batalkan. Tapi apakah ada program lain? Kita belum memikirkan untuk program lain untuk alternatif rumah subsidi selain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP)," katanya.